Penjajahan Kapitalisme

 PENJAJAHAN KAPITALISME

(Runtuhnya Negara & Virus Jahat Konsumerisme)

(Dr. Noreena Hertz)

Dunia yang kita tinggalan sekarang merupakan dunia dimana perusahaan – perusahaan mengambil-alih kekuasaan dari Negara, para pengusaha menjadi semakin lebih kuat ketimbang para politisi, dan kepentingan-kepentingan komersial diagungkan. Protes dengan cepat menjadi satu – satunya jalan untuk mempengaruhi berbagai kebijakan dan mengendalikan berbagai dampak buruk dari aktivitas perusahaan. Kita dapat melacak awal kemunculan dunia semacam ini, dunia Silent Takeover (Pengambilalihan Diam-Diam) ini, dari kekuasaan Margareth Thacher yang berpengaruh dan Ronald Reagen, yang memberikan kekuasaan besar kepada tangan perusahaan – perusahaan, dan mendapatkan saham pasar dengan mengorbankan bukan saja politik tetapi juga demokrasi.

Kebanyakan Perusahaan yang notabenenya memproduksi, terus memproduksi dengan berbagai macam pembaharuan di produk produksinya sehingga manusia yang dijadikan sebagai objekpun menjadi lebih konsumtif. Ada banyak perlawanan terhadap sifat konsumerisme tetapi perusahaan terus menerus melakukan kontra terhadap perlawanan itu. Bahkan perusahaan mulai dapat mengendalikan sumber-sumber berita masyarakat. Sebagai contoh, pada tahun 1997 Adbusters[1], sebuah organisasi “gangguan budaya” asal Canada, mencoba menayangkan suatu iklan kontra konsumerisme yang di situ seekor babi animasi yang dilapiskan di atas peta Amerika Utara menampar bibirnya sendiri sambil berkata, “Rata-rata orang Amerika Utara mengonsumsi lima kali lebih banyak dari seorang Meksiko, sepuluh kali lebih banyak daripada seorang China dan tiga puluh kali lebih banyak daripada seorang asal India … berikan ia sisa. Tanggal 28 November merupakan Hari Tanpa Membeli.” Akan tetapi stasiun-stasiun televisi Amerika seperti NBC, CBS, dan ABC serempak menolak untuk menayangkannya, sekalipun penyandang dananya ada. Hal ini membuktikan bagaimana perusahaan melakukan kontra dengan perlawanan-perlawanan yang dianggap dapat menurunkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan.

Data yang paling mencengangkan kemudian lahir, data itu menyebutkan seratus perusahaan asing multinasional terbesar mengendalikan 20 persen asset – asset asing global, lima puluh satu dari seratus kekuatan ekonomi terbesar di dunia kini merupakan perusahaan – perusahaan (dua puluh Sembilan dari seratus tertinggi, jika diukur dalam kerangka nilai-tambah)[2]. General Motor dan Ford, lebih besar daripada GDP seluruh sub-sahara Afrika, Exxon tingkat ekonominya dapat disamakan dengan kemampuan ekonomi Chili dan Pakistan[3].

Dan lucunya lagi, Orang – orang Amerika menghabiskan $8 milyar setahun untuk membiayai kosmetika sementara dunia tidak bisa mendapatkan $9 milyar yang menurut PBB dibutuhkan untuk memberikan kepada manusia kesempatan meminum air bersih dan sanitasi.Di Amerika, selama sepuluh tahun setelah 1988, pemasukan keluarga-keluarga paling miskin meningkat kurang dari 1%, padahal pemasukan itu melompat 15% bagi kelima orang terkaya. Di Kota New York 20%, termiskin memperoleh pendapatan tahunan rata – rata $10.700 sementara 20% terkaya mendapatkan $152.350[4].

Tetapi ada sebuah cerita lain dari sebuah Negara yang cukup kecil dan terisolir. Negara itu dapat terus bertahan diantara persaingan-persaingan ketat yang menyebabkan beberapa negera harus mengorbankan rakyatnya untuk tetap bertahan dalam persaingan itu. Negara ini memiliki system berbeda dari yang lain. Kerajaan Bhutan, tanah mitos dari Thunder Dragon, yang terakhir dari kerajaan Himalaya Merdeka, terletak antara Tibet dan India. Dengan penuh kesadaran mengisolasi diri, ia telah berupaya dalam beberapa abad mengikuti jalannya sendiri, lebih dari 85% penduduknya giat dalam pertanian untuk menyambung hidup, dan transaksi barter merupakan normanya. Masyarakat di Bhutan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan sandang yang layak, dan sama sekali tidak ada gelandangan tuna wisma. “Keberhasilan” di sini diukur atas dasar perkembangan ekologis, etik, dan spritiual; moralitas dan pencerahan diberikan nilai di atas kekayaan bendawi. Nilai – nilai Budha dipegang teguh dan tradisi – tradisi dipelihara; dua ribu biara bergerak aktif, dan Driglam Namsha, kode etik kuno, tetap menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Menurut Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuk, “Gross National Happiness lebih penting daripada Gross National Product.” Sebuah fakta yang mengejutkan dimana saat orang-orang ataupun Negara-negara terus berbondong-bondong untuk memburu materi, rakyat kerajaan Bhutan beranggapan bahwa materi bukan tolak ukur dari kebahagiaan itu sendiri. Untuk apa punya materi yang banyak tetapi tidak membuat hidup kita bahagia.

Kembali ke topic sebelum, kita telah melihat bagaimana fenomena sebuah dunia yang sangat timpang, seperti yang dijelaskan sebelumnya, Fenomena ini dapat dilacak sejak tahun 1979 dan 1980, Margaret Thatcher dan Ronald Reagen antusias mempertahanakan pasar bebas dan secara yakin menentang konsep adanya suatu Negara beraliran intervensi. Menolak Keynesianisme. Mereka menganut pandangan – pandangan para ekonom semacam Milton Friedman dan Friedrich Hayek, keduanya percaya bahwa pasar bebas mampu mengalokasikan barang dan layanan secara lebih efektif ketimbang Negara, dan bahwa upaya – upaya pemerintah memerangi berbagai kegagalan pasar justru lebih banyak menyisakan malapetaka daripada kebaikan. “Peranan Negara adalah menggalakkan kontrak – kontrak untuk memasok uang yang cukup . . . untuk menjamin bahwa kekuatan – kekuatan pasar tidak didistorsi,”[5] dan, pada intinya, untuk menyediakan lingkungan terbaik bagi bisnis untuk berkembang, dengan menyarankan ulang memori – memori dari dictum Presiden Calvin Coolidge, “ Bisnis Amerika adalah Bisnis”.

Pemerintahan Reagen didominasi oleh para ekonom aliran pihak-pemasok, yang mempertahankan potongan pajak guna memberikan insentif yang terbesar terhadap produksi – sementara Thatcher mengadopsi monetarisme, yang menekankan control ketat atas pasokan uang. Pandangan – pandangan keduanya sangat mudah didefinisikan dalam bentuk negative: sebagai sebuah penolakan atas seluruh pilar consensus Keynesian pascaperang. Kanan baru (kelompok yang dianggap sangat pro dengan pengusaha) itu memilih reduksi inflasi dan potongan – potongan belanja public[6] (yang mereka pandang sebagai sebuah penyebab besar dari kelesuan ekonomi saat ini); daripada suatu ekonomi campuran, mereka menginginkan Negara dipotong pada fungsi intinya, dengan banyak fungsinya diswastanisasi atau dikontrakkan kepada pihak lain.

Negara – Negara yang pertama menganut kapitalisme pasar bebas ala Anglo – Amerika adalah Negara – Negara bekas dominion Inggris. Di Australia pada dasawarsa 1980-an mendorong Menteri Keuangan (yang kemudian menjadi Perdana Menteri) Paul Keating, mengingatkan bahwa negeri kangguru itu menghadapi risiko menjadi “republic pisang” jika ia tidak melakukan reformasi. Metode yang ia kembangkan – deregulasi, kejujuran fiscal, dan privatisasi – benar-benar mengingatkan orang akan pendekatan-pendekatan Thacther. Di Kanada, Brian Mulroney meliberalisasi undang – undang yang membatasi invenstasi asing di negeri itu, seraya membuka pasar Kanada bagi perdagangan bebas.

Di Amerika Latin, dictator militer pada 1980-an menunjukkan diri mereka sebagai pengikut setia dari Kanan Baru. Di Chili, Jenderal Pinochet, ketiadaan batasan – batasan demokrasi memperlancar pembebanan berbagai kebijakan ekonomi beraliran moneter yang menyakitkan yang diselenggarakan di bawah panduan sebuah tim dari Universitas Chicago. Awal dasawarsa 1990-an seluruh pemimpin besar Amerika Latin “Presiden Carlos Salinas de Gortari di Meksiko, Presiden Carlos Menem di Argentina, Presiden Fernando Collor de Mello di Brazil (berupaya) menerapkan program – program jangka-panjang liberalisasi ekonomi, seraya menerima adanya kebutuhan akan persaingan pasar bebas dan keterbukaan terhadap perekonomian dunia. Satu-satunya peluang mereka untuk mengamankan pinjaman IMF adalah dengan menerapkan paket – paket reformasi yang berkelindan dengan garis – garis consensus Washington.

Sekitar awal dasawarsa 1990-an kapitalisme neo-liberal laissez-faire gagasan Reagen dan Thatcher tak terbantahkan lagi menjadi ideology dunia yang dominan. Di Amerika Serikat, misalnya, Dewan Kepemimpinan Demokrat – sekelompok pemodern berpengaruh dalam Partai Demokrat – mendorong partainya untuk menghindari posisi kekiri – kirian Michael Dukaki kearah tengah, seraya menemukan kembali dirinya sebagai “Kaum Demokrat Baru.” Berkenaan dengan perhatian pertama dari keadilan social, kaum Demokrat Baru, yang dicontohkan oleh Gubernur Bill Clinton, menekankan bisnis, investasi, daya saing, dan perdagangan bebas dan kredit pajak bersasaran ketimbang kenaikan belanja public.

Tahun 1994 Partai Buruh, yang sedang berusaha memulihkan diri dari kekalahan pemilihan umum empat kali berturut – turut, melakukan sebuah pendobrakan besar atas masa silam, dengan mencampakkan kebijakan – kebijakan tradisionalnya berupa pajak-dan-belanja (yang secara luas dipandang sebagai alasan pokok bagi kekalahannya) dan menganut system ekonomi pasar bebas ala neo-liberal.

Bantuan dana hanya diberikan dengan syarat reformasi pasar menurut selara Amerika, dan tidak banyak diperhatikan kenyataan bahwa negeri – negeri tersebut sama sekali tidak mirip dengan Amerika, dengan kebudayaan yang sangat berbeda, tingkat kemajuan dan lembaga berbeda, dan kebutuhan – kebutuhan yang sangat berbeda[7]. Di Amerika Latin suatu gelombang baru para presiden yang populis telah terpilih – Luis Inacio Lula Da Silva di Brazil, Hugo Chavez di Venezuela, Nestor Kirchner di Argentina, dan Lucio Gutierrez di Ekuador – yang semuanya menjanjikan kepada para konstituennya suatu bentuk kapitalisme yang lebih teratur dan lebih terdistribusi ketimbang apa yang ditawarkan Washington. Pemimpin-pemimpin inilah yang punya gagasan-gagasan untuk membuat sebuah perlawanan terhadap system yang membuat rakyat mereka terus menderita.

Sementara Negara-negara Amerika Latin memilih pemimpin-pemimpin yang kemungkinan membawa perubahan besar justru beberapa Negara lain semakin terpuruk karena pemimpin yang sangat tidak pro terhadap rakyat. Di Chile, uang yang dihasilkannya tidaklah didistribusikan secara merata di kalangan rakyatnya. Hanya kaum minoritas yang menikmati kemajuan pembangunan. China merupakan negeri yang memperoleh manfaat paling besar dari jumlah terbesar FDI selama beberapa tahun terakhir, dan memiliki angka pertumbuhan ekonomi tahun-per-tahun yang mengagumkan selama dua puluh tahun lebih terakhir ini, namun lebih dari seperlima penduduknya hidup dengan biaya di bawah satu dolar perhari. India merupakan cerita sukses software dunia dalam decade itu, namun sekitar setengah penduduknya hidup dengan setara satu dan setengah dolar perhari.

Gap antara kaya dan miskin itu sedang melebar.[8] Di Amerika 97% dari kenaikan pemasukan hanya dinikmati oleh 20% keluarga selama dua puluh tahun terakhir. Sementara si kaya memperoleh lebih banyak – pendapatan rata-rata dari lima orang pria terkaya naik 4% antara tahun 1979 dan 1996 – lima orang terbawah menunjukkan kemerosotan 44% dalam hal pendapatannya. Pertengahan Sembilan puluhan untuk pertama kalinya sejak akhir tujuh puluhan, pemasukan kelas menengah Amerika terus mengalami penurunan akibat gelombang pengerdilan perusahaan – yang menciptakan semacam jurang perbedaan yang semakin menganga antara kelas menengah dan kelas atas.

Hanya 39% penganggur Amerika memiliki akses untuk mendapatkan tunjangan pengangguran saat ini, dibandingkan dengan 70% pada tahu 1986. [9] Tempat orang-orang sebagian besar bergantung pada perusahaan bagi tunjangan kesehatan dan tunjangan pension, konsekuensi-konsekuensinya benar-benar mengerikan. Dua puluh persen orang Amerika yang kini bekerja dengan kontrak temporer atau paruh-waktu tidak menerima tunjangan  sama sekali, atau tunjangan yang berarti. Dan sementara 70% pekerja Amerika memiliki tabungan masa pension, kurang dari 10% dari mereka yang termasuk ke sepuluh terbawah dapat bertumpu pada pesangon pemutusan hubungan kerja apapun yang dananya dikeluarkan oleh perusahaan. Bandingkan hal ini pada paket pesangon penghentian kerja Jack Welch, mantan CEO General Electric, yang, ketika ia berhenti, termasuk pemanfaatan seumur hidup atas sebuah pesawat jet milik perusahaan, sebuah apartemen Central Park dengan harga $80.000 sebulan, keanggotaan pada setumpuk klub di negeri itu, pelayanan maksimal di sejumlah rumahnya, bunga, telepon, computer, furniture, sejumlah limosin, dan tiket istimewa ke Amerika Serikat Terbuka, Wimbeldon, opera, dan setiap pertandingan kandang New York Knicks!.

Mereka yang memiliki pekerjaan terpaksa harus bekerja dalam jumlah jam yang lebih lama dan lebih lama lagi, sehingga Amerika menempati posisi jam kerja terlama (sekitar lima puluh jam perminggu)[10] diantara Negara-negara industry maju.[11]

Inflasi tidak naik pada saat yang bersamaan dengan naiknya angka pengangguran. Sehingga suatu solusi baru dicari – cari karena pemerintah mulai meyakini bahwa “jantung masalahnya terletak bukan pada manajemen yang tidak efisien dari consensus yang sedang berlaku, melainkan consensus itu sendiri.[12]

Kehidupan manusia saat ini cenderung dijual murah demi prospek ke depan guna mendapatkan suatu kehidupan yang secara signifikan lebih baik. Thomas Mayer, ekonom kepala pada kantor bank investasi Goldman Sachs di Frankfurt, telah mengatakan, “Ketika saya melihat-lihat lantai perniagaan, saya tidak melihat perlunya menurunkan upah bagi para peniaga. Itu merupakan masalah sampingan. Akan tetapi yang diperlukan adalah menurunkan upah para petugas kebersihan dan memperluas persebarannya di antara mereka. Jika kita melakukan hal itu, kita mendapatkan lebih banyak lapangan pekerjaan, dan karenanya, angka pertumbuhan lebih besar”[13]

Ada sebuah data bahwa berbagai macam cara digunakan untuk membumikan ideology – ideology pasar bebas ke seluruh dunia. Pada tahun 1947 para petinggi spionase Inggris dan Amerika bekerjasama untuk berbagi informasi keamanan. Mereka bersepakat untuk mengoperasikan sebuah system pemantauan bersama, dengan nama sandi Echelon. Kemudian tiga Negara berbahasa Inggris lainnya, Kanada, Australia dan Selandia Baru, bergabung dengan proyek tersebut, meski Amerika Serikat tetap merupakan partner dominan. Gagasan yang dikemukakan untuk memperbaharui alians yang telah berhasil mengalahkan Nazi Jerman, dalam rangka mengalangi ancaman baru, yakni Rusia Sovyet.

Di America, satuan-satuan Sigint (signals intelligence) militer dibangun di Sugar Grove di Virginia Barat. Di Inggris sebuah stasiun pendengar di Menwith Hill, di Yorkshire di utara Inggris, yang jauh dari London, menjadi situs internasional paling penting bagi kelompok tersebut, dan pada khususnya bagi National Security Agency (NSA) milik Amerika, sang pemain utama dalam Echelon. Echelon memainkan suatu peran, pada tahun 1989 Tembok Berlin rubuh. Sekitar 1991 seluruh blok Sovyet telah ambruk, dan ancaman komunis itu telah lenyap sama sekali. Februari 2000, Echelon tidak lagi dimanfaatkan untuk pengintaian politik dan militer atas para dictator yang mengancam kebebasan dunia. Ia digunakan untuk memonitor berbagai aktivitas bisnis komersial sehari-hari milik sejumlah sekutu terdekat Amerika dan Inggris. Echelon pun dilaporkan dapat menyadap setiap kata dalam komunikasi telepon, faxsimile, dan e-mail yang dipancarkan oleh satelit manapun di dunia ini. Bukti ini menegaskan bahwa Echelon digunakan untuk memata-matai individu dan menyampaikan berbagai rahasia komersil kepada para pelaku bisnis Amerika.

Informasi yang mencengkan ini terbongkar pada Februari 2000, ketika dokumen-dokuem Departemen Pertahanan Amerika yang baru saja dideklasifikasi diedarkan dalam Internet dan untuk pertamakalinya diberikan informasi resmi bahwa operasi penyadapan elektronik global memang benar-benar ada. (Keberadaa Echelon pertama kali diungkap pada tahun1996 oleh seorang agen pembelot di Selandia Baru, tetapi sebelumnya tidak didukung bukti). Fenomena yang mendukung informasi inipun telah terlihat dengan jelas seperti di Asia, Amerika Serikat memanfaatkan informasi yang dihimpun dari pangkalan-pangkalannya di Australia untuk memenangi separuh saham dari sebuah kontrak perdagangan Indonesia yang besar bagi AT&T yang menurut penggalan komunikasi yang disadap awalnya ditujukan kepada NRC Jepang. Hal inipun ditanggapi oleh Pemerintah Portugis – yang pada saat itu sedang menjadi presiden keliling Uni Eropa – mengajukan untuk mendirikan sebuah secretariat Eropa untuk memonitor kegiatan-kegiatan Echelon.

Selain menggunakan Echelon untuk mengambil keuntungan besar disebuah Negara, Amerikapun menggunakan cara-cara licik untuk menghancurkan sebuah Negara yang punya pemerintahan yang sangat kuat menentang Amerika. Sebagai contoh di Iran pada tahun 1953 CIA menyokong kejatuhan pemerintahan rakyat Perdana Menteri Mohammed Mossaddeq, yang menuntut bahwa perusahaan minyak Anglo-Iran (Pendahulu BP) membagi lebih banyak keuntungannya dengan Iran. Ketika peraturan Shah Muhammed Reza Pahlevi diberlakukan  kembali, sang penguasa yang kembali itu melakukan negosiasi ulang kesepakatan-kesepakatan minyak negerinya sehingga untuk pertama kalinya perusahaan-perusahaan minyak Amerika bisa beroperasi di sana, dengan mengambil 40% saha pada konsorsium internasional perusahaan minyak swasta yang sekarang memiliki dan mengoperasikan asset-aset minyak Iran.[14]

Pada tahun 1954 Amerika Serikat membantu menggulingkan pemerintah terpilih Guatemala, Presiden Jacobo Arbenz, setelah ia mengambil-alih 80% perkebunan Tiquisate dan Bananera, kemudian United Fruit Company milik Amerika, bekas lembaga hokum milik menteri luar negeri, John Foster Dulles, mewakili United Fruit dan kepala CIA, Allen Dulles, merupakan anggota badan komisaris perusahaan tersebut.[15] Arbenz pun digantikan oleh seorang dictator militer dukungan-CIA pada tahun 1954. “Empat puluh tahun kemudian militer mencatat rekor hak asasi manusia terburuk di Hemisphere Barat”. [16]

WTO memerintah demi menyenangkan kepentingan-kepentingan perusahaan melawan kehendak pemerintah yang terpilih secara demokratis. Tidak memberikan laporan pertanggung jawaban kepada siapapun, ia telah membatasi pilihan kita atas apa yang dapat kita maka, mengabaikan undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah kita yang terpilih secara demokratis, memulai atau mendukung perang perdagangan, dan membuat kesehatan kita penuh resiko.

Keberpihakan WTOpun semakin terlihat dengan jelas ketika kelompok pencinta lingkungan dan kelompok-kelompok public lainnya tidak diizinkan untuk mengamati pembahasan-pembahasan yang dilakukan WTO, bahkan ketika tidak melibatkan rahasia-rahasia komersial besar.

Di seattle, pada tahun 1999 negara-negara Afrika merasa geram dengan keputusan Amerika Serikat untuk tidak menggunakan penerjemah dan mikropon dalam pertemuan internal mereka yang sudah dijadwalkan. Hal ini mengindikasikan pertemuan WTO yang sangat tidak adil. Helmet Maucher, presiden Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce, ICC) – sebuah oragnisasi yang terdiri dari 7.000 perusahaan-anggota dan mewakili perusahan-perusahaan transnasional terbesar dunia, termasuk General Motors, Novartis, Bayer, dan Nestle – mendorong organisasinya untuk dianugrahi status formal dalam tubuh WTO, terlepas dari kenyataan bahwa pada saat ini hanyalah Negara-bangsa yang menjadi anggota WTO.

Ada sebuah fenomena tentang perjuangan seorang aktivis yang berusaha melawan kekuatan korporasi yang didukung oleh pemerintah. Orang ini bernama Doris Haddock (Granny D) yang merayakan ulang tahun ke 90 pada tahun 24 januari 2000 di Cumberland, Maryland. Ia terkenal karena berangkat dari Pasadena, California, pada tanggal 1 Januari 1999, dan berjalan menempuh jarak 3.200 mil menuju Washington untuk memprotes korupsi yang terus tumbuh dalam system politik Amerika dengan sumbangan – sumbangan sangat besar yang diberikan kepada mesin partai oleh sejumlah perusahaan dan serikat. Satu dari sekian target utama Granny D adalah apa yang disebut uang lunak – sumbangan-sumbangan yang asalnya berarti cadangan untuk biaya incidental – yang telah menjadi sebuah factor besar dalam pemilihan umum di Amerika. Perjalanan Granny D pada mulanya dimaksudkan untuk mendukung senator Partai Liberal daerah pemilihan Wisconsin, Russ Feingold, yang di antara isi rancangan programnya, yang disusun bersama dengan tokoh popular Partai Republik, John McCain, mengecam system uang lunak sebagai “sogokan yang dilegalkan”. Pada 20 Maret 2002, Rancangan Undang-undang Pendanaan Kampanye racikan McCain-Feingold dan Shays-Meehan mendapat persetujuan Senat dan Presiden Bush terpaksa harus menandatanganinya sebagai undang-undang.

Data lain bahwa ada fenomena dimana perusahaan – perusahaan yang memonopoli barang dipasaran terus di lawan. Pada musim gugur tahun 1999, tokoh yang dijadwalkan muncul, di sudut hijau, adalah Lord Melchett, petani organic dan mantan menteri dari Partai Buruh; dan yang menjadi lawannya adalah Robert Shapiro, kepala dan CEO Monsanto, produser benih GM terdepan di dunia. Lord Melchett, direktur eksekutif Greenpeace.

Setelah sebuah tahun yang gegap-gempita dengan protes, kampanye, dan pergolakan konsumen, Shapiro menghadapi kenyataan bahwa Eropa, dan khususnya Inggris, menolak bioteknologi Monsanto. Isu GM bergeser dari lembaran-lembaran surat ke halaman-halaman depan media massa, dan dengan cepat mendominasi bulletin berita dan kepala berita media massa di Inggris. Protes – protes terhadap kampanye yang tidak matang itu ditahan oleh Otoritas Standar Periklanan, yang mengkritik perusahaan itu sebagai menyesatkan public dan menyajikan opini sebagai fakta.

Dalam sebuah era apatisme dan keengganan berpolitik, konsumerisme mulai menggantikan kewargaan sebagai sebuah alat yang bisa digunakan oleh rakyat biasa untuk memperoleh identitas dan pengakuan dalam arena public.

Kerusuhan, instabilitas, dan kemiskinan tidaklah kondusif untuk melakukan bisnis jangka panjang yang efektif di manapun di dunia ini. Jaime Augusto Zobel de Ayala II, presiden Perusahaan Ayala, salah satu konglomerat terbesar Filipina, mengatakan dalam sebuah pidato di hadapan orang-orang bisnis Asia pada tahun 1995: “kita semua membayar ongkos untuk kemiskinan, pengangguran, dan kebutahurufan. Jika sebuah angka persentase masyarakat masuk pada kelas yang tak beruntung, para investor akan merasakan kesulitan untuk mendapatkan pekerja yang terampil dan gigih; pabrik – pabrik akan memiliki suatu pasar terbatas bagi produk-produknya; kriminalitas akan membuat lari ketakutan investasi asing, dan migrant internal ke kawasan – kawasan terbatas yang disitu tersedia setumpuk peluang akan mempertegang pelayanan dasar dan mengarah pada masalah – masalah perkotaan. Di bawah kondisi – kondisi seperti ini, tidak ada negeri yang dapat bergerak maju secara ekonomi dan menopang pembangunan… Oleh karena itu akan memiliki manfaat bisnis bagi perusahaan jika ia melengkapi upaya-upaya pemerintah dalam memberikan sumbangsih pada pembangunan social.

Rite Aid, waralaba toko obat Amerika, telah memiliki komitmen untuk menempatkan 580 dari 4000 toko miliknya di seantero Amerika pada kawasan-kawasan pusat kota yang sangat membutuhkan revitalisasi, dengan mengontrak para pengembang setempat, mempekerjakan karyawan-karyawan setempat, dan menciptkan efek riak positif dalam ekonomi setempat. Namun demikian tidak ada alasan untuk membatangkan ia melakukan hal ini semata-mata karena alasan-alasan belas kasihan; ia juga memetik manfaat bisnis yang bagus.

Pertanyaan yang muncul sekarang, Apakah ideal bahwa perusahaan – perusahaan, bukannya pemerintah, memainkan peranan tersebut ? Tidak, tentu saja tidak. Perusahaan – perusahaan, dan pihak – pihak manajemennya, tidaklah dipilih melalui proses pemilihan. Fungsi – fungsi tadi bersifat asing bagi kesibukan pokok mereka – para manajer perusahaan multinasional yang beroperasi di dunia ketiga sering disibukkan oleh berbagai persoalan social yang mereka hadapi, dan dapat dimaklumi mereka merasa sulit mengetahui sasaran mana yang harus didahulukan. Mereka tidak mempunyai keahlian dalam mendistribusikan bantuan, dan terbatas pengalaman dalam memainkan fungsi – fungsi Negara, meski mereka sering bekerjasama erat dengan kalangan LSM dan organisasi – organisasi akar rumput, dan menyewa orang – orang berpengetahuan. Sumbangan – sumbangan mereka dapat saja dihambur – hamburkan atau diselewengkan melalui korupsi. IBM menyediakan sejumlah computer bagi sekolah – sekolah di Afrika Selatan, namun sekolah – sekolah tersebut sangat rentan terhadap pencurian. Disekolah – sekolah computer hanya bermanfaat jika mereka dibarengi oleh guru – guru yang layak, yang tentu saja tidak disediakan oleh IBM. Maka dampak sumbangan itu menjadi minimal, sejumlah besar murid tidak menjadi melek computer, dan uang yang dikeluarkan untuk kesejahteraan menjadi, sebagaimana juga sering menjadi kasus dalam ruang public, benar – benar mudah.

Seiring dan ketika perusahaan bergerak pindah, begitu juga obligasi – obligasi mereka akan berpindah ke komunitas – komunitas setempat. Terdapat bahaya nyata bahwa kehadiran mereka, pengambilalihan mereka atas peranan – peranan pemerintah tradisional tersebut, akan menciptakan semacam penghambat bagi pemerintah untuk mengembangkan sendiri lembaga – lembaga yang sepatutnya ; dan bahwa jika dan ketika mereka menarik diri, tidak aka nada sama sekali pihak yang bisa menggantikan mereka, dan tidak ada jalan lain untuk ditempuh.

Perusahaan mungkin saja mampu memainkan peranan tertentu dalam mengentas kemiskinan dan menangi konflik dan ketimpangan, namun investasi social dan keadilan social tidak akan pernah menjadi kegiatan inti mereka. Sumbangsih mereka kepada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan akan selalu berada di pinggiran, dan kontribusi mereka terhadap kemakmuran tidak akan pernah komprehensif. Wolfensohn, kepala World Bank, kini mengakui bahwa “globalisasi tidak bekerja pada tingkat masyarakat”[17] dan adalah jelas bahwa harta kekayaan tidak diturunkan ke rakyat bawah sebagaimana telah diprediksi.

Deficit demokrasi dengan cepat menjadi suatu jurang demokrasi, dan protes muncul sebagai satu – satunya jalan bagi suara – suara lain untuk didengar.

Berbagai kelompok penekan yang memainkan sebuah peranan besar dalam masyarakat sipil telah mengambil selimut kemenangan rakyat, namun mereka tidak memiliki mandate demokrasi apapun, seringkali memiliki focus yang sempit dalam berbagai prioritas anggotanya, atau kepemimpinan mereka, dan mungkin bekerja untuk menerapkan nilai – nilai mereka dengan tidak menghargai nilai – nilai orang lain. Mereka berkonsentrasi pada isu – isu tunggal, mereka boleh jadi tidak merasa perlu untuk merepotkan dirinya sendiri memikirkan masalah – masalah orang lain, sebagaimana mungkin terjadi dalam sebuah system demokrasi murni.

Sebelum tahun 1900, adalah jarang terjadi rakyat berpaling dari partai – partai politiknya dan menemukan cara – cara selain memberikan suara dalam pemilihan untuk mempengaruhi pemerintah. Bermula pada awal abad ke-20, struktur lama partisipasi politik ini memberikan jalan bagi pola – pola baru. Kehadiran pemilih pada bilik – bilik suara merosot, perobekan kertas suara meningkatan, dan relative sedikit pemilih yang dapat dihitung untuk mendukung kandidat – kandidat partai regular dari tahun ke tahun. Pada periode yang sama, banyak sekali kelompok kepentingan yang berhasil merintis berbagai cara baru mempengaruhi pemerintah dan agen – agennya.[18]

Agenda baru agar setiap orang dapat memiliki akses terhadap keadilan dimanapun mereka berada. Pertama, pada tingkat nasional, agenda baru ini memerlukan suatu pencabutan hak memilih dari perusahaan. Pendanaan perusahaan terhadap partai – partai politik dan kampanye – kampanye pemilihan merupakan sebuah penghinaan bagi prinsip – prinsip demokrasi, dan terus memastikan bahwa politik tetap diartikan secara keliru hanya untuk kepentingan sedikit orang – ekslusif alih-alih inklusif. Jika kepercayaan hendak dipulihkan, para politisi akan harus membuktikan diri kepada para pemilih bahwa mereka bekerja untuk kebaikan public, dan bukan demi kebaikan pribadi. Kedua, kepercayaan yang teguh terhadap ekonomi trickle-down,  membenarkan segala sesuatu dari kemakmuran perusahaan hingga potongan – potongan pajak bagi kalangan hartawan, harus untuk terakhir kalinya diistirahatkan. Ketimpangan yang terus tumbuh dan kecenderungan – kecenderungan perusahaan untuk menangkap penghasilan dari subsidi atau potongan pajak bagi mereka sendiri dengan tanpa memperhatikan komunitas setempat memberikan bantahan yang menyolok atas teori trickle-down. Pada dataran praktis, penolakan atas aksioma ini akan mengakibatkan bukan saja pengikisan atas kebijakan kemakmuran perusahaan melainkan juga suatu telaah ulang atas kebijakan – kebijakan perpajakan redistributive dan pengeluaran public. Ketiga, kekuasaan perusahaan pada tingkat nasional harus dihambat.

Mendesak bahwa kita memastikan bahwa para pelestari berbagai ketidakadilan perusahaan harus diperiksa, di manapun mereka berada, dan bahwa korban – korban mereke harus dibantu siapapun mereka. Dalam jangka panjang hal ini merupakan masalah penguatan regulasi nasional dan internasional atas berbagai perusahaan dan mengefektifkan penggalannya. Dalam jangka pendek terdapat dua inisiatif yang jelas yang dapat diambil.

Pertama, pemerintahan Negara – Negara utara harus memiliki komitmen terhadap reformasi badan legislative yang akan memastikan bahwa tabir perusahaan dapat ditembus dan perusahaan – perusahaan induk dapat dimintai tanggungjawabnya atas berbagai tindakan bawahannya di negeri manapun mereka beroperasi. Kedua, para pekerja dan komunitas di mana saja harus diberikan akses terhadap lembaga bantuan hokum global.

penjajahan-kapitalisme


[2] Anderson dan Cavanagh, “Top 200: The Rise of Global Corporate Power.” Institute for Policy Studies (Washington, D.C. 1999). Hal ini dihitung dengan membandingkan GDP terhadap penjualan perusahaan. Bahkan jika GDP dibandingkan dengan nilai tambah, keraksasaan perusahaan tetap mencengangkan. Misalnya General Motors, dengan menggunakan ukuran nilai-tambah, ternyata muncul sebagai ekonomi terbesar ke lima puluh lima di dunia ! (UNCTAD 2002)

[3] Dihimpun dari data negeri dan perusahaan dalam daftar yang dibuat oleh The Economist dan Fortune 500, tahun 2000

[4] Pulling Apart : A State-by-State Analysis of Income Trends, Center on Budget and Policy Priorities and the Economic Policy Institute (2000)

[5] David Marquand, “Moralist and Hedonist,” dalam Marquand dan Seldon, The Ideas that Shaped Post-War Britain, hlm 14 – 15.

[6] “The Thatcher Record,” The Economist, 24 November 1990; Laporan Ekonomi Sang Presiden, Januari 1993, Tabel 13-59, hlm. 462; “The Trouble with Theories: Assessing Reaganomics,” The Economist, 21 Januari 1989.

[7] John Gray, False Dawn : The Delusions of Global Capitalism.

[8] Lihat Giovanni Andrea Cornia, “Inequality and Poverty Trends in the Era of Liberalization and Globalization” (Publikasi Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1999)

[9] Business Week, 19 November 2001, hlm. 10.

[10] OECD Employment Outlook, Juli 1999.

[11] Data International Labor Organization

[12] (Nigel Lawson, “The Frontiers of Privatisation,” pidato dihadapan konferensi mengenai privatisasi di Institut Adam Smith (1988), dikutip dalam Peter Riddell, The Thatcher Era and Its Legacy (Oxford : Blackwell, 1991), hlm. 6

[13] Dikutip dalam Greider, One World Ready or Not.

[14] W. LaFeber, “The Tensin Between Democracy and Capitalism During the American Century,” Diplomatic History, vol. 23, no.2 (Malden, MA: American Historical Association, 1999)

[15] Ibid.

[16] T. E. Vadney, The World Since 1945 (New York : Viking Penguin, 1992)

[17] W. Hutton dan A. Giddens, ed., On the Edge : Living with Global Capitalism (London, 2000)

[18] Richard L. McCormick, The Party Period and Public Policy, hlm. 274

Tugas I Politik Internasional

UNDERSTANDING CONFLICT
AND WAR: VOL. 4:
WAR, POWER, PEACE

Chapter 13

Comparative Dynamics
Of
International Conflict*

By R.J. Rummel

Chapter 13 ini menjelaskan beberapa penelitian terkait analisa penyebab terjadinya perang, proses dan ancaman perang yang bukan merupakan strategi militer. Para peneliti yang mengemukakan pendapatnya adalah Barringer, Northedge dan Donelan, Wright, dan Kahn.

1. Richard Barringer

Konflik diawali dengan adanya persengketaan yang terjadi di antara dua atau lebih aktor. Konflik ini melalui beberapa fase, yang pertama adalah fase dimana adanya keluhan dari salah satu actor yang tidak ditoleransi oleh actor yang lain. Fase kedua, perang dianggap sebuah kebijakan dan pilihan. Yang mampu mengambil pilihan perang yaitu Negara yang dapat menggerakkan militernya. Konflik sebagai sengketa antar actor- actor yang siap menggunakan kekuatan militer. Sebuah sengketa bisa berubah menjadi perang ketika opsi militer telah diperkenalkan dan digerakkan.

Fase ketiga dimana konflik itu menjadi konflik yang melibatkan actor lain. Konflik ini bukan hanya menjadi sebuah konsep lagi tetapi telah menjadi hal – hal real, contohnya adalah embargo. Fase keempat atau fase terakhir yakni fase dimana konflik bisa menjadi perang atau kemungkinan kedua konflik tersebut bisa diselesaikan.

2. F. N. Northedge dan M. D. Donelan

Tahun 1917 Northedge dan Donelan melakukan penelitian untuk menjawab apa itu konflik internasional, penyebab, bagaimana konflik meningkat dan bagaimana konflik diselesaikan.

Bahasa yang muncul dari kedua penulis ini adalah helix of conflict (konflik berstruktur) yang menjelaskan situasi normal berarti ada factor – factor konflik tetapi belum mencuat. Jadi situasi normal adalah konflik tersembunyi dimana ada potensi – potensi konflik. Konflik dimulai ketika terjadi benturan kepentingan, manifestasi dari sengketa dimulai dari kebutuhan dan respon dari pertentangan kepentingan. Biasanya hal ini ditanggapi oleh pemimpin Negara.

Ada beberapa fase yang dilalui, fase pertama adalah adu argument diplomatic. Fase kedua berupa propaganda dan terciptanya komunikasi yang negative seperti sangsi, boikot. Fase ketiga ketika sengketa meningkat, actor menggunakan kekuatan militer. Fase ini bisa berakhir tergantung penggunaan kekuataan yang koersif atau tidak. Ketika menghasilkan korban mengakibatkan dua kondisi yaitu perang meningkat atau intervensi dari pihak ketiga.

3. Quincy Wright

Wright punya 2 karya yaitu study of war dan study of international relations yang dilakukan pasca perang dunia kedua. Dia membatasi luasnya sense of conflict dengan membagi 4 fase. Fase pertama adalah kesadaran akan ketidak konsistenan. Fase kedua tekanan yang meningkat yaitu penggunaan kekuatan militer dengan tekanan yang rendah. Fase keempat adalah intervensi militer atau perang untuk mendikte sebuah solusi.

Wright membuat sebuah persamaan untuk lebih menjelaskan konsep yang dia miliki.

Equation 13.1:

dx/dt = (Nx + Fy) – (Cx + Wx) + (Px – Py) – (Vx – Vy),

dy/dt = (Ny + Fx) – (Cy + Wy) + (Py – Px) – (Vy – Vx),

where

x, y = states x and y;

dx/dt, dy/dt = growth rate of hostility for x, and for y;

Nx, Ny = perception of its national interests by x, and by y;

Fx, Fy = perception by x of forces immediately available to x, and by y;

Cx, Cy = perception by x of costs of hostilities and preparations, and by y;

Wx, Wy = perception by x of world pressures for peace, and by y;

Px, Py = perception by x of its and y’s long run power position, and by y;

Vx, Vy = perception by x of its vulnerability to destruction, and by y.

4. Herman Kahn

Penelitian dia lakukan pada tahun 1965 dan memunculkan karya yang berjudul On Escalation: Metaphors and Scenarios. Penelitiannya focus terhadap ekskalasi (peningkatan) perang nuklir. Dia menganalogikan tahap konflik menjadi perang sebagai anak – anak tangga. Anak tangga ini diibaratkan ketidaksepakatan dan perang ingin. Diapun menganggap bahwa situasi normal adalah konflik tersembunyi sehingga ekskalasi konflik dapat meningkat kapan saja.

Anak tangga pertama menggambarkan ketika ada ancaman. Anak tangga kedua ketika adanya aksi – aksi negative yang meluncurkan propaganda dan membatalkan perjanjian. Anak tangga ketiga ketika terjadi deklarasi formal. Anak tangga keempat ketika telah mensiapkan hal – hal yang akan digunakan sebagai kekuatan koersif. Kelima terjadi ketika komunikasi langsung maupun tidak langsung tentang kemampuan dan kapabilitas penggunaan kekuatan militer yang konfrontatif. Anak tangga keenam ketika mobilisasi signifikan yang biasanya menempatkan pos – pos militer. Ketujuh ketika penggunaan kekerasan secara legal misalnya menyerang warga sipil, blockade, embargo dan boikot. Kedelapan adalah bombing yaitu menyerang kedutaan besar, mendukung terorisme. Anak tangga kesembilan ketika konfrontasi militer yang dramatis terjadi. Anak tangga yang terakhir ketikan terjadinya pemutusah hubungan diplomatic dan perang yang besar dimana menggunakan nuklir sebagai senjata.