Pelayanan Prima di Masa New Normal

Tulisan ini adalah tulisan yang saya ajukan ke Majalah Bhumipura untuk edisi ke-3 akan tetapi tulisan ini belum terpilih. Dibanding tulisan ini hanya tersimpan di laptop maka saya berinisiatif untuk membaginya ke lini masa.

Secercah Harapan dari kemelut COVID-19

Corona Virus Disease 2019 (covid-19) telah mereformasi berbagai sisi kehidupan manusia. Bagaimana tidak, virus yang konon berawal dari Wuhan (Tiongkok), kini telah menjalar secara global. Rilis terkini mencatat, pertanggal 13 Juni 2020[1], covid-19 telah menginfeksi 7.553.182 orang dan merenggut 423.349 nyawa di seluruh dunia.

Secara khusus di Indonesia, Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengkonfirmasi 37.420 kasus positif covid-19 dengan angka kematian sejumlah 2.091 orang[2]. Sebuah fakta yang sangat merisaukan. Olehnya, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020, pemerintah pun  mengafirmasi bahwa pandemi covid-19 ialah Bencana Non Alam.

Terlepas dari jumlah kasus kematian musabab covid-19, fakta bahwa virus ini dapat disembuhkan setidaknya membawa secercah harapan bagi umat manusia. Realita menunjukkan lebih dari sepertiga pasien positif covid-19 (13.776 orang)[3] dinyatakan sembuh dan dapat kembali beraktivitas. Tak hanya di Indonesia, secara universal akumulasi kesembuhan melebihi setengah dari jumlah kasus positif (4.058.335)[4]. Fakta ini seakan menyatakan bahwa kekhawatiran berlebihan terhadap virus, ialah suatu hal yang menyesatkan.

Tatanan Normal Baru

Seiring berjalannya waktu, Pembatasan Sosial diterapkan dihampir setiap lini kehidupan demi menekan laju penyebaran virus. Mengoptimalkan sarana teknologi informasi pun menjadi keniscayaan. Dari bekerja hingga belajar semuanya berpijak pada virtual reality.

Akan tetapi, transisi sosial semacam ini tentulah menimbulkan berbagai bahaya laten. Di balik  teknologi informasi yang memberikan sejumlah nilai efisiensi, ia juga turut memberikan sejumlah dampak destruktif, khususnya di bidang ekonomi.

The World Bank melaporkan bahwa selama pandemi covid-19 penurunan ekonomi ditaksir sebesar 5.2%, terburuk sejak Perang Dunia II[5]. Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat, mendorong negara-negara di dunia mengambil langkah terobosan guna membuat ekonomi tetap berjalan sembari meminimalisir laju persebaran covid-19 hingga vaksin ditemukan. Upaya ini ditempuh dengan pertimbangan bilamana ekonomi tidak segera dipulihkan, maka bukan virus yang menghancurkan peradaban manusia melainkan fenomena kemiskinan dan kelaparan.

Tanggal 16 April 2020, Dr Hans Henri P. Kludge Direktur WHO untuk regional Eropa mengeluarkan statemen bagi negara-negara untuk melakukan masa transisi ke New Normal[6]. Gayung bersambut, negara-negara Eropa dan hampir seluruh dunia mulai menerapkan masa transisi ini tak terkecuali di Indonesia. Bahkan Presiden Indonesia, Joko Widodo, melalui pernyataan resmi tanggal 15 Mei 2020 telah menyusun tahapan yang akan ditempuh dalam menerapkan status New Normal.

Pelayanan Keimigrasian dimasa New Normal

Deklarasi New Normal yang digaungkan oleh Joko Widodo ditindaklanjuti secara responsif oleh setiap instansi pemerintahan, tidak terkecuali Direktorat Jenderal Imigrasi. Melalui Surat Edaran Nomor IMI-GR.01.01-0946 Tahun 2020 yang dikeluarkan pada 9 Juni 2020 terkait Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Keimigrasian dalam Masa Tatanan Normal Baru, Dirjen Imigrasi menegaskan bahwa pelayanan keimigrasian senantiasa berjalan di masa New Normal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Tentunya ini merupakan angin segar bagi masyarakat, terkhusus bagi mereka yang selama kondisi pandemi tidak dapat terlayani.

Melalui regulasi ini pula, semua unit pelaksana teknis keimigrasian melakukan perubahan besar pada sarana dan prasarana pelayanan. Mulai dari penyediaan alat pelindung diri bagi petugas imigrasi hingga mendesain situasi ruang pelayanan agar memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh protokol kesehatan. Berbagai transformasi yang digiatkan tentunya berpedoman pada komponen standar pelayanan khususnya pasal 21 huruf m Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 yakni “jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan”. Dengan penerapan standar protokol kesehatan yang ketat diharapkan baik pemohon maupun petugas pelayanan keimigrasian dapat terhindar dari potensi tertular covid-19.

Selain itu, Dirjen Imigrasi melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian juga turut menerapkan pelayanan berbasis jaringan internet sehingga interaksi langsung antara petugas dan pemohon layanan keimigrasian dapat diminimalisir.

Akan tetapi, sebagai sebuah institusi yang mengedepankan pelayanan, Dirjen Imigrasi harus terus mengikuti perkembangan teknologi informasi dan sejatinya ini merupakan tantangan kedepan, demi memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.


[1] WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard, https://covid19.who.int/ diakses pada tanggal 14 Juni 2020 pukul 11.42 WITA

[2] Infografis COVID-19 (13 Juni 2020), https://covid19.go.id/p/berita/infografis-covid-19-13-juni-2020 diakses pada tanggal 14 Juni 2020 pukul 11.56 WITA

[3] Ibid

[4] COVID-19 Coronavirus Pandemic, https://www.worldometers.info/coronavirus/?utm_campaign=homeAdvegas1?%20, diakses pada tanggal 14 Juni 2020 pukul 20.41 WITA

[5] COVID-19 to Plunge Global Economy into Worst Recession since World War II, https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2020/06/08/covid-19-to-plunge-global-economy-into-worst-recession-since-world-war-ii, diakses pada tanggal 14 Juni 2020 pukul 21.27 WITA

[6] Statement – Transition to a ‘new normal’ during the COVID-19 pandemic must be guided by public health principles, https://www.euro.who.int/en/media-centre/sections/statements/2020/statement-transition-to-a-new-normal-during-the-covid-19-pandemic-must-be-guided-by-public-health-principles, diakses pada tanggal 15 Juni 2020 pukul 10.07 WITA

2014 in review

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2014 annual report for this blog.

Here's an excerpt:

The concert hall at the Sydney Opera House holds 2,700 people. This blog was viewed about 8,700 times in 2014. If it were a concert at Sydney Opera House, it would take about 3 sold-out performances for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

Pendidikan Kaum Tertindas

Image

PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS

Paulo Freire

 

Rasa “takut kebebasan” yang menimpa kaum tertindas,(rasa takut kebebasan ini juga dapat ditemukan dalam diri para penindas, sekalipun, dalam bentuk yang berbeda. Kaum tertindas takut untuk merangkul kebebasan: sementara kaum penindas takut kehilangan “kebebasan” untuk menindas) ketakutan yang baik mendorong mereka untuk menginginkan peranan sebagai penindas maupun mengurung mereka tetap sebagai orang tertindas, harus ditelaah.

Pendidikan kaum tertindas ini, yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis (bukan humanitarian) menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas (egoism dengan baju kedermawanan palsu dari paternalism) dan menjadikan kaum tertindas sebagai obyek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindasan itu sendiri. Dia merupakan sebuah perangkat dehumanisasi. Itu pula sebabnya mengapa, sebagaimana telah kita tegaskan sejak awal, pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh kaum penindas.

Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, di mana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.

Dalam kedua tahap ini dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultural pula. Pada tahap pertama, maka perlawanan itu terjadi dalam hal kaum tertindas menyadari akan adanya dunia penindasan; dan pada tahap kedua, dengan memberantas habis mitos – mitos yang diciptakan dan dikembangkan di masa orde lama, yang bagaikan hantu – hantu yang menghantui bangunan baru yang muncul dari perubahan revolusioner.

Pada tahapnya yang pertama pendidikan ini harus membahas masalah kesadaran kaum tertindas dan kaum penindas, yakni masalah manusia yang menindas dan manusia yang menderita penindasan itu. Bahasan itu harus mencakup masalah perilaku, pandangan dunia serta etika mereka. Suatu masalah khas dalam hal ini adalah dualitas kaum tertindas: mereka adalah manusia kontradiktif dan terbelah, dibentuk dan hidup dalam situasi penindasan dan kekejaman yang nyata.

 

Kesadaran kaum penindas cenderung untuk mengubah segala sesuatu disekitarnya menjadi obyek kekuasaan mereka. Bumi, harta kekayaan, produksi, karya cipta manusia, manusia itu sendiri, waktu – semuanya direduksi menjadi obyek yang berada di bawah kemauannya.

­­­Dalam semangat mereka untuk memiliki secara tak terbatas, kaum penindas mengembangkan semacam keyakinan bahwa adalah mungkin bagi mereka mengubah segala sesuatu menjadi obyek daya beli mereka; di sinilah dasar dari konsep kehidupan materialistic mereka yang kokoh. Uang menjadi ukuran segalanya, dan laba adalah tujuan paling utama. Bagi kaum penindas, apa yang dianggap bermanfaat adalah memiliki lebih banyak – selalu lebih banyak – sekalipun dengan mengorbankan kaum tertindas yang semakin miskin dan tidak memiliki apa – apa lagi. Bagi mereka, mengada adalah memiliki dan mengada sebagai kelas masyarakat “berpunya”.

Kaum penindas tidak menyadari monopoli mereka untuk memilih lebih banyak sebagai suatu hak istimewa justru menjadikan orang lain dan diri mereka sendiri tidak manusiawi. Mereka tidak mengerti bahwa dalam melampiaskan sikap mementingkan diri sendiri untuk memiliki sebagai sebuah kelas penguasa, mereka tercekik oleh milik mereka sendiri dan bahwa mereka tidak mengada; mereka hanya memilki.

Penindas dan tertindas ternyata masuk dalam lingkar pendidikan. Dalam pendidikan ini (sekolah) terdapat sebuah fenomena yang cukup unik fenomena ini disebut Fatalism. Fatalism ini sering kali ditafsirkan sebagai suatu kepatuhan yang menjadi ciri kepribadian nasional. Fatalism dalam samarannya berupa sikap serba patuh adalah suatu hasil dari suatu situasi kesejarahan dan kemasyarakatan. Inilah yang terjadi pada kasus hubungan antara guru – murud di institusi pendidikan.

Suatu analisis yang cermat tentang hubungan antara guru – murid pada semua tingkatan, baik dalam maupun luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar di dalamnya. Hubungan ini melibatkan seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek – obyek yang patuh dan mendengarkan (murid – murid). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai – nilai maupun segi – segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan menderita penyakit cerita semacam itu. (bukan pengalaman murid)

Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita ini, karena itu, adalah kemerduaan kata – kata, bukan kekuatan pengubahnya. “Empat kali empat sama dengan enam belas, ibu kota Para adalah Belem”. Murid – murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan – ungkapan tersebut tanpa memahami apa arti sesungguhnya dari empat kali empat, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata “ibu kota” dalam ungkapan “ibu kota Para adalah Belem”, yakni apa arti Belem bagi Para dan apa arti Para bagi Brazil.

Pendidikan bercerita – dengan guru sebagai pencerita – mengarahkan murid – murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, murid diubahnya menjadi “bejana – bejana”, wadah – wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh dia mengisi wadah – wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah – wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid.

Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang – barang simpanan sehingga miskin daya cipta dan daya ubah seorang murid.

Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa – apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideology penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.

Kemampuan pendidikan gaya bank untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para murid, serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. Secara naluriah mereka akan selalu menentang setiap usaha percobaan dalam bidang pendidikan yang akan merangsang kemampuan kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap dunia yang berat sebelah, tetapi selalu mencari ikatan yang menghubungkan satu hal dengan hal – hal lainnya atau satu masalah dengan masalah lainnya. Sesungguhnya, kepentingan kaum penindas adalah “mengubah kesadaran kaum tertindas, bukan situasi yang menindas mereka”.

“Humanism” dari pendekatan gaya bank menutupi suatu usaha untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (automaton) – suatu penolakan terhadap fitrah ontologis mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.

Dalam konsep pendidikan gaya bank adalah anggapan akan adanya dikotomi antara manusia dengan dunia: manusia semata – mata ada di dalam dunia, bukan bersama dunia atau orang lain; manusia adalah penonton bukan pencipta. Dalam pandangan ini manusia bukanlah makhluk yang berkesadaran (corpo consciente); dia lebih merupakan pemilik sebuah kesadaran; suatu “jiwa” kosong yang secara pasif terbuka untuk menerima apa saja yang disodorkan oleh realitas dunia luar.

Peranan pendidik adalah mengatur cara dunia “masuk ke dalam” diri para murid. Tugasnya adalah mengatur suatu proses yang berlangsung secara spontan, “mengisi” para murid dengan menabungkan informasi yang dia anggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya. Karena manusia “menerima” dunia secara pasif, maka pendidikan akan membuat mereka lebih pasif lagi, menjadikan mereka agar sesuai dengan dunia. Manusia yang terdidik adalah manusia yang telah disesuaikan, karena dia lebih “cocok” bagi dunia. Diterjemahkan kedalam praktik, konsep ini sesuai sekali dengan tujuan – tujuan para penindas yang ketentramannya tergantung pada seberapa cocok manusia bagi dunia yang telah mereka ciptakan, dan seberapa kecil mereka mempersalahkan hal ini.

Semakin lengkap kesesuaian mayoritas manusia dengan tujuan – tujuan yang telah ditentukan oleh minoritas manusia untuk mereka (dengan demikian merampas hak mereka untuk memiliki tujuan sendiri), semakin mudah pihak minoritas melangsungkan kekuasaan. Teori dan praktik pendidikan gaya bank mengabdi kepada tujuan – tujuan tersebut dengan cara yang sungguh efisien. Pelajaran – pelajaran yang verbalistik, bahan bacaan yang telah ditentukan, metode – metode untuk menilai “ilmu pengetahuan”, jarak antara guru dan murid, ukuran – ukuran bagi kenaikan kelas: segala sesuatu dalam pendekatan siap-pakai ini melumpuhkan pikiran.

Hanya melalui komunikasi manusia dapat menemukan hidup yang bermakna. Berpikir murni, yakni berpikir atas dasar keterlibatan dengan realitas, tidak dilakukan jauh di puncak menara gading, tetapi hanya dalam komunikasi.

Oleh karena pendidikan gaya bank bertolak dari suatu pengertian yang keliru tentang manusia sebagai obyek, maka dia tidak akan mampu mengembangkan apa yang disebut oleh Fromm dalam The Heart of Man sebagai biofili, tetapi justru sebaliknya mengembangkan nekrofil.

Konsep pendidikan gaya bank, yang mengabdi pada kepentingan – kepentingan penindasan, adalah juga nekrofilis. Berdasar pada pandangan tentang kesadaran yang mekanistis, statis, naturalistis dan terkotak, dia menjadikan murid sebagai obyek – obyek yang harus menerima. Dia selalu berusaha mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar menyesuaikan diri terhadap dunia dan menghalangi kemampuan kreatif mereka.

Ketika usaha – usaha untuk berbuat secara bertanggung jawab dikecewakan, ketika mereka mendapatkan diri tidak dapat memanfaatkan kemampuan – kemampuan mereka, maka ketika itulah manusia menderita.

Pembebasan adalah sebuah praksis: tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk dapat mengubahnya. Manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh obyek – obyek yang dapat diamati yang dalam pendidikan gaya bank “dimiliki” oleh guru semata.

Konsep pendidikan gaya bank (yang cenderung membuat dikotomi terhadap apa saja) membedakan dua tahap kegiatan seorang pendidik. Pertama, pendidik mengamati sebuah obyek yang dapat diamati selama dia mempersiapkan bahan pelajaran di kamar atau laboratoriumnya; dan yang kedua dia menceritakan kepada murid tentang obyek tersebut. Para murid tidak diminta untuk mengerti, tetapi menghapal apa yang diceritakan oleh guru. Murid juga tidak berpraktik melakukan pengamatan, oleh karena obyek yang menjadi sasaran pemahaman adalah milik guru, dan bukan medium yang mengundang refleksi kritis dari guru maupun murid.

Metode pendidikan hadap – masalah tidak membuat dikotomi kegiatan guru – murid ini; guru selalu “menyerap”, baik ketika dia mempersiapkan bahan pelajaran maupun ketika dia berdialog dengan para murid. Peran seorang pendidik hadap – masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana di mana pengetahuan pada tahap mantera (doxa) diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu (logos).

Pada salah satu acara pertemuan kelompok binaan program kami di Cile, kelompok itu mendiskusikan (dengan menggunakan metode kodifikasi) konsep kebudayaan secara antropologis. Di tengah – tengah diskusi, seorang petani yang menuntut standar gaya bank menyatakan : “sekarang saya paham bahwa tanpa manusia maka dunia pun tidak ada.” Pemandu belajarnya kemudian menanggapi “Seandainya, sebagai perumpamaan saja, semua manusia di dunia tiba – tiba mati, tetapi bumi masih tetap ada, di samping pohon – pohon, burung – burung, binatang, sungai – sungai, lautan, bintang – gemintang . . . , bukankah semua itu merupakan sebuah dunia?” “Oh bukan,” jawab si petani dengan sungguh – sungguh. “sebab tidak ada seorangpun yang akan mengatakan : “Ini sebuah dunia”.

Petani tersebut bermaksud menyatakan pikirannya bahwa tidak akan ada kesadaran tentang dunia jika dunia kesadaran itu sendiri tidak ada. “Aku” tidak akan ada jika tidak ada “bukan-aku”. Sebaliknya, “bukan aku” tergantung kepada keberadaanku. Dunia yang menimbulkan kesadaran menjadi dunia dari kesadaran tersebut. Demikianlah dinyatakan Satre seperti telah dikutip di atas. “kesadaran dan dunia tampil secara serempak”.

Dalam pendidikan hadap – masalah, manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis cara mereka mengada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan diri sendiri; mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan.

Di dalam kata kita menemukan dua dimensi, refleksi dan tindakan, dalam suatu interaksi yang sangat mendasar hingga bila salah satunya dikorbankan – meskipun hanya sebagaian – seketika itu yang lain dirugikan. Tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan juga tidak merupakan sebuah praksis. Dengan demikian, mengucapkan sebuah kata sejati adalah mengubah dunia.

Jika dalam mengucapkan kata – katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia. Dialog karena itu, merupakan kebutuhan ekstensian. Karena dalam dialog merupakan perjumpaan di antara orang – orang yang menamai dunia, maka tidak boleh menjadi suatu keadaan dimana sejumlah orang menamai dunia dengan mengatasnamakan orang lain.

Dialog tidak dapat berlangsung, bagaimanapun, tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesame manusia. Di pihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati. Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya (yang bukan hak istimewa sekelompok elite, tetapi hak kelahiran semua manusia. Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a priori bagi dialog, “manusia dialogis” percaya pada orang lain bahkan sebelum dia bertatap muka dengannya.

Dialog juga tidak dapat terjadi tanpa adanya harapan. Harapan berakar pada ketidaksempurnaan manusia, dari mana mereka secara terus – menerus melakukan usaha pencarian – pencarian yang hanya dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain.

Pendidikan yang dialogis, yakni guru-yang-murid dari model hadap – masalah, isi bahan pelajaran dalam pendidikan bukanlah sebuah hadiah atau pemaksaan – potongan – potongan informasi yang ditabungkan ke dalam diri para murid – tetapi berupa “penyajian kembali” kepada murid tentang hal – hal yang ingin mereka ketahui lebih banyak, secara tersusun, sistematik dan telah dikembangkan. Penelitian dari apa yang saya istilahkan “dunia tema” (thematic universe) rakyat – sebagai kompleks dari “tema – tema generative” (generative themes) – mengesahkan dialog pendidikan sebagai praktik kebebasan.

Tindakan yang dilakukan binatang adalah sekedar eksistensi dari dirinya sendiri, maka hasil tindakan tersebut adalah juga tak terpisahkan dari diri mereka sendiri; binatang tidak mampu memberi tujuan bagi tindakannya atau memberi makna terhadap perubahan dunia yang dilakukan di luar dunianya sendiri. Binatang pada dasarnya merupakan “makhluk dalam dirinya sendiri.

Binatang adalah makhluk yang tidak menyejarah. Bagi binatang, dunia ini tidak memiliki sesuatu yang “bukan-aku” yang menjadikan dirinya sebagai suatu “aku”. Binatang tidak ditantang oleh konfigurasi yang mereka hadapi; mereka semata – mata hanya dirangsang. Kehidupan mereka bukanlah kehidupan yang menantang resiko, karena mereka tidak sadar yang diketahui melalui refleksi, tetapi begitu saja “tertangkap” melalui isyarat yang menandainya; karena itu dia tidak membutuhkan tanggapan melalui pertimbangan pikiran.

Sebaliknya, manusia memiliki kesadaran akan tindakan dan dunia dimana mereka berada. Mereka bertindak sesuai dengan arah yang ditujunya, menetapkan keputusan – keputusan bagi dirinya sendiri dan bagi kaitannya dengan dunia serta sesame manusia lainnya, dan mencampuri dunia dengan kehadirannya yang kreatif dengan cara memperbaharui dunia.

Manusia, sebaliknya, karena memiliki kesadaran akan diri sendiri dan kesadaran akan dunia – karena mereka memang makhluk berkesadaran – mengada dalam suatu hubungan dialektis antara ketentuan – ketentuan yang membatasinya dengan kemerdekaan yang dimilikinya.

Penelitian tema yang berlangsung dalam dunia manusia tidak dapat direduksi menjadi kegiatan mekanis. Sebagai proses pencarian, pengetahuan, dan dengan demikian kreasi, dia menuntut para peneliti untuk menemukan saling – keterkaitan antarmasalah, dalam rangka tema – tema bermakna. Penelitian akan menjadi sangat mendidik jika dia sangat kritis, dan sangat kritis jika dia menghindari patokan – patokan sempit dari pandangan terhadap realitas yang berat sebelah atau “terkotak”, serta tetap menerapkan pemahaman terhadap realitas secara keseluruhan. Dengan demikian proses pencarian bagi tema – tema bermakna harus mencakup masalah perkaitan antartema, masalah pengungkapan tema – tema itu sebagai permasalahan, dan masalah konteks sejarah dan kebudayaannya.

Hal yang penting, dari sudut pandang pendidikan yang membebaskan, adalah agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri dengan berdiskusi mengenai pemikiran dan pandangan tentang dunia yang secara jelas atau tersamar terungkap di dalam tanggapan – tanggapan mereka sendiri dan kawan – kawannya. Oleh karena pandangan terhadap pendidikan ini bertolak dari keyakinan bahwa dia tidak dapat menyajikan programnya sendiri, tetapi harus menyusun program ini secara dialogis dengan masyarakat, maka dia berperanan untuk memperkenalkan pendidikan bagi kaum tertindas, yang dalam perkembangnnya kaum tertindas harus mengambil bagian.

Aktivitas manusia yang berupa tindakan dan refleksi; inilah praksis; inilah perubahan dunia. Sebagai praksis dia memerlukan teori untuk menerangi. Aktivitas manusia adalah teori dan praktik; itulah refleksi dan tindakan. Pernyataan Lenin yang terkenal: “Tanpa teori revolusi tidak akan ada gerakan revolusi”, berarti bahwa suatu revolusi akan terlaksana tanpa verbalisme atau aktivisme, tetapi dengan praksis, yakni dengan refleksi dan tindakan yang diarahkan pada struktur – struktur yang hendak diubah.

Praksis revolusi tidak dapat menoleransi dikotomi absurd dimana praksis rakyat hanya sekedar pelaksanaan keputusan – keputusan para pemimpin – suatu dikotomi yang mencerminkan metode resep dari elite penguasa. Praksis revolusi merupakan sebuah kesatuan, dan para pemimpin tidak dapat memperlakukan kaum tertindas sebagai milik mereka.

Revolusi tidak dilaksanakan baik oleh para pemimpinnya untuk rakyat, tidak juga oleh rakyat untuk para pemimpin, melainkan oleh keduanya yang bertindak bersama – sama dalam solidaritas yang tidak tergoyahkan. Solidaritas ini lahir hanya bila para pemimpin menyaksikannya melalui perjumpaan mereka yang rendah hati, penuh kasih serta berani, dengan rakyat. Dialog, sebagai perjumpaan antarmanusia untuk “menamai” dunia, merupakan prasyarat dasar bagi humanisasi sejati mereka. Sebagaimana dikatakan Lenin, semakin suatu revolusi membutuhkan teori, semakin para pemimpinnya harus bersama rakyat agar dapat berhadapan melawan kekuasaan penindas.

Seperti yang disebutkan Lenin sebelumnya bahwa teori itu sangat penting untuk mengetahui sebuah tindakan apakah termasuk anti diaologi yang menuju penindasan atau dialogis yang menuju kebebesan. Teori – teori tindakan yang antidialogis antara lain penaklukan, pecah dan kuasai, dan manipulasi.

(Penaklukan) watak pertama dari tindakan antidialogis adalah keharusan adanya penaklukan. Penaklukan memaksakan kehendak kepada mereka yang ditaklukkan, dan menjadikan mereka miliknya.

Merupakan keharusan bagi kaum penindas untuk mendekati rakyat agar dapat membuat mereka tetap pasif melalui penaklukan. Pendekatan ini, tentu saja, tidak berunsur ada bersama rakyat, maupun menuntut adanya komunikasi sejati. Hal ini dilakukan dengan cara menghubungkan mitos – mitos kaum penindas yang tidak terelakkan bagi keberlangsungan status quo contohnya, mitos bahwa tatanan menindas adalah suatu “masyarakat bebas”; mitos bahwa semua orang bebas untuk bekerja di mana mereka kehendaki, dan bila mereka tidak senang dengan majikannya mereka dapat meninggalkan dan mencari pekerjaan yang lain; mitos bahwa tatanan ini menghormati hak – hak manusia dan karena itu patut dihargai; mitos bahwa siapapun yang rajin bekerja dapat menjadi pengusaha – lebih buruk lagi, mitos bahwa pedagang kaki lima adalah sama dengan pemilik pabrik besar sebagai pengusaha; mitos mengenai hak pendidikan universal, ketika dari seluruh anak – anak Brazil yang memasuki sekolah dasar hanya sebagian kecil saja yang mencapai perguruan tinggi; mitos mengenai persamaan derajat manusia, ketika pertanyaan: “Tahukah kamu dengan siapa kamu berbicara?” masih berlaku di antara kita; mitos tentang kepahlawanan kelas penindas sebagai pembela “peradaban Kristen Barat” menentang “barbarisme kaum materialis”; mitos karitas dan kedermawanan kaum elite untuk menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya mereka lakukan sebagai suatu kelas adalah untuk memelihara “perbuatan – perbuatan terpuji (kemudian diperhalus menjadi mitos tentang “bantuan tanpa pamrih” yang pada tingkat internasional dikritik tajam oleh Paus Johanes XII). Lebih dari itu, Negara – Negara dengan ekonomi yang lebih maju harus berhati –hati jangan sampai, dalam memberi bantuan kepada Negara – Negara miskin, mereka mencoba memengaruhi situasi politik yang berlaku untuk kepentingan sendiri, serta berusaha untuk menguasai mereka. Seandainya terdapat usaha – usaha semacam itu, maka dia tidak pelak lagi merupakan bentuk lain dari kolonialisme yang, sekalipun berkedok nama lain, sebenarnya mencerminkan penjajahan lama mereka yang sudah ketinggalan zaman, yang sekarang telah ditinggalkan oleh banyak Negara. Bila hubungan internasional dihambat seperti ini, maka pembangunan semua bangsa secara tertib akan terancam. Dari surat Ensiklik Mater et Magistra.; mitos bahwa elite penguasa, dengan “menyadari kewajiban – kewajiban mereka”, mengusahakan kemajuan bagi rakyat, sehingga rakyat, dalam ungkapan rasa terima kasih, hendaknya menerima kata – kata kaum elite serta menyesuaikan diri terhadap mereka; mitos bahwa pemberontakan adalah suatu dosa terhadap Tuhan; mitos mengenai kekayaan pribadi sebagai sangat penting bagi perkembangan pribadi manusia (sepanjang kaum penindas merupakan satu – satunya kelas manusia sejati); mitos tentang ketidakjujuran kaum tertindas, di samping mitos tentang inferioritas alamiah kaum tertindas dan superioritas kaum penindas. Memmi menunjuk pada citra yang dibangun kaum penjajah dalam diri kaum terjajah; “Dengan tuduhannya kaum penjajah menjadikan kaum terjajah sebagai orang – orang malas. Dia menilai kemalasan itu merupakan pembawaan dalam diri kaum tertindas.

Semua mitos tersebut (dan lain – lain yang dapat pembaca tambahkan), yang internalisasinya sangat penting bagi usaha menundukkan kaum tertindas, disajikan kepada mereka melalui propaganda dan slogan – slogan yang terorganisasi dengan baik, melalui media “komunikasi” massa – dianggapnya keterasingan semacam itu sungguh – sungguh merupakan komunikasi.

(Pecah dan Kuasai) Setelah minoritas penindasan menaklukkan dan menguasai mayoritas rakyat, mereka harus memecah – belah dan menjaganya agar tetap terpecah, supaya dapat terus berkuasa. Kaum penindas mematahkan dengan segala cara (termasuk kekerasan) setiap aksi yang sekalipun masih pada tahap dini dapat membangkitkan rasa butuh persatuan di kalangan rakyat. Konsep – konsep seperti halnya kesatuan, organisasi, dan perjuangan, seketika dicap berbahaya. Sesungguhnyalah, tentu saja, konsep – konsep ini memang berbahaya – bagi kaum penindas – oleh karena realisasi dari semua itu merupakan keniscayaan bagi aksi – aksi pembebasan.

Kaum penindas tidak mau memajukan masyarakat secara keseluruhan, tetapi hanya para pemuka yang terpilih. Pilihan kedua ini, dengan memelihara keterasingan, menghambat munculnya kesadaran serta keterlibatan kritis dalam suatu realitas total. Tanpa adanya keterlibatan kritis, akan senantiasa sulit untuk mempersatukan kaum tertindas sebagai suatu kelas.

(Manipulasi) semakin rendah kesadaran politik rakyat (di desa atau kota) semakin mudah mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin kehilangan kekuasaannya. Salah satu metode manipulasi adalah menanamkan cita rasa borjuis kepada orang – orang untuk mencapai sukses pribadi.

Marilah kita sekarang menganalisis teori tindakan budaya dialogis dan mencoba melihat unsur – unsur pembentuknya.

(Kerja Sama) dalam teori tindakan dialogis, para pelaku berkumpul dalam kerja sama untuk mengubah dunia. Dialog, sebagai komunikasi esensial, harus mendasari setiap kerja sama.

(Persatuan untuk Pembebasan) dalam teori tindakan dialogis para pemimpin harus menyerahkan dirinya bagi usaha tanpa kenal lelah bagi persatuan kaum tertindas – dan persatuan para pemimpin dengan kaum tertindas – untuk mencapai pembebasan.

(Organisasi) organisasi bukan hanya berkaitan langsung dengan persatuan, namun juga merupakan perkembangan yang wajar dari persatuan itu. Oleh karena itu, usaha para pemimpin dalam hal persatuan adalah niscaya juga suatu usaha untuk mengorganisasi rakyat, yang menuntut kesaksian bagi kenyataan bahwa perjuangan bagi pembebasan adalah tugas bersama.

Unsur – unsur esensial dari kesaksian yang tidak berbeda sepanjang sejarah, mencakup : konsistensi antara kata dan tindakan; tekad yang mendorong kesaksian untuk menghadapi kehidupan sebagai resiko yang ajek; radikalisasi (bukan sektarianisme) yang membimbing baik kesaksian maupun orang yang menerima kesaksian itu untuk bertindak lebih banyak; keberanian untuk mencintai (yang sama sekali bukan memberi akomodasi bagi dunia yang tidak adil, melainkan mengubah dunia tersebut atas nama pembebasan manusia yang semakin longgar); serta keyakinan terhadap rakyat, karena untuk merekalah kesaksian dibuat – sekalipun kesaksian untuk rakyat, karena hubungan dialektis mereka dengan elite penguasa juga memengaruhi pihak terakhir itu (yang menanggapi kesaksian itu menurut kebiasaan mereka)

(Sintesa Kebudayaan) Sintesa kebudayaan merupakan suatu cara bertindak untuk menghadapi kebudayaan itu sendiri, sebagai penjaga dari struktur – struktur yang membentuk dirinya. Aksi kebudayaan, sebagai aksi sejarah, adalah sarana untuk menggeser kebudayaan kaum pengusaha yang terasing serta mengasingkan. Dalam arti inilah, setiap revolusi sejati merupakan revolusi kebudayaan.

Tuntutan upah saja tidak dapat membawa penyelesaian tuntas. Hakikat penyelesaian ini dapat ditemukan dalam pernyataan yang dikutip di atas dari para uskup Dunia Ketiga bahwa “bila kaum buruh tidak dapat menjadi pemilik dari karya mereka sendiri, maka semua perubahan structural tidak akan efektif . . . mereka (harus) menjadi pemilik, bukan penjual, dari karya mereka sendiri . . . (sebab) setiap pembelian atau penjualan karya manusia merupakan satu jenis perbudakan”.

Untuk mencapai kesadaran kritis mengenai kenyataan bahwa sangat penting artinya untuk menjadi “pemilik dari karya sendiri”, bahwa karya “merupakan bagian dari pribadi manusia,” dan bahwa “seorang manusia tidak dapat dijual ataupun menjual dirinya sendiri,” berarti harus maju selangkah keluar dari khayalan penyelesaian semu. Melakukan perubahan sejati atas realitas, dengan memanusiakan realitas itu, akan berarti memanusiakan manusia.

Dalam teori tindakan antidialogis, serangan kebudayaan melalui tujuan – tujuan manipulasi, yang pada gilirannya melayani tujuan – tujuan penaklukan, dan penaklukan melayani tujuan – tujuan dominasi. Sintesa kebudayaan melayani tujuan – tujuan organisasi; organisasi melayani tujuan – tujuan pembebasan.

Dalam resensi singkat diatas, kita melihat bagaimana analisa dari Paulo Freire tentang sebuah system penaklukan, penindasan dan perbudakan yang dijaga terus oleh kaum penindas. Salah satu alat mereka yaitu mencemari system pendidikan dengan mitos-mitos busuk yang berusaha menjauhkan manusia dari hakikatnya sebagai manusia sejati. Dalam analisa Paulo Freire kita bisa menemukan beberapa kesulitan terutama saya (sebagai pembaca dan pembuat resensi) yaitu kesulitan untuk memahami karyanya secara kompleks. Hal ini mungkin dikarenakan buku yang saya baca adalah buku terjemahan yang kemungkinan besar tidak bisa menyampaikan makna setiap kalimat yang dituliskan Paulo Freire dan buku merupakan buku filsafat yang berusaha membongkar fikiran kita dan menginjeksikan sesuatu berdasarkan hakikatnya. Tetapi secara keseluruhan buku ini sangat disarankan untuk dibaca. Karena diakui resensi ini tidaklah dapat mewakili buku terjemahan Paulo Freire (Pendidikan Kaum Tertindas) apalagi buku asli dari Freire.

Penjajahan Kapitalisme

 PENJAJAHAN KAPITALISME

(Runtuhnya Negara & Virus Jahat Konsumerisme)

(Dr. Noreena Hertz)

Dunia yang kita tinggalan sekarang merupakan dunia dimana perusahaan – perusahaan mengambil-alih kekuasaan dari Negara, para pengusaha menjadi semakin lebih kuat ketimbang para politisi, dan kepentingan-kepentingan komersial diagungkan. Protes dengan cepat menjadi satu – satunya jalan untuk mempengaruhi berbagai kebijakan dan mengendalikan berbagai dampak buruk dari aktivitas perusahaan. Kita dapat melacak awal kemunculan dunia semacam ini, dunia Silent Takeover (Pengambilalihan Diam-Diam) ini, dari kekuasaan Margareth Thacher yang berpengaruh dan Ronald Reagen, yang memberikan kekuasaan besar kepada tangan perusahaan – perusahaan, dan mendapatkan saham pasar dengan mengorbankan bukan saja politik tetapi juga demokrasi.

Kebanyakan Perusahaan yang notabenenya memproduksi, terus memproduksi dengan berbagai macam pembaharuan di produk produksinya sehingga manusia yang dijadikan sebagai objekpun menjadi lebih konsumtif. Ada banyak perlawanan terhadap sifat konsumerisme tetapi perusahaan terus menerus melakukan kontra terhadap perlawanan itu. Bahkan perusahaan mulai dapat mengendalikan sumber-sumber berita masyarakat. Sebagai contoh, pada tahun 1997 Adbusters[1], sebuah organisasi “gangguan budaya” asal Canada, mencoba menayangkan suatu iklan kontra konsumerisme yang di situ seekor babi animasi yang dilapiskan di atas peta Amerika Utara menampar bibirnya sendiri sambil berkata, “Rata-rata orang Amerika Utara mengonsumsi lima kali lebih banyak dari seorang Meksiko, sepuluh kali lebih banyak daripada seorang China dan tiga puluh kali lebih banyak daripada seorang asal India … berikan ia sisa. Tanggal 28 November merupakan Hari Tanpa Membeli.” Akan tetapi stasiun-stasiun televisi Amerika seperti NBC, CBS, dan ABC serempak menolak untuk menayangkannya, sekalipun penyandang dananya ada. Hal ini membuktikan bagaimana perusahaan melakukan kontra dengan perlawanan-perlawanan yang dianggap dapat menurunkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan.

Data yang paling mencengangkan kemudian lahir, data itu menyebutkan seratus perusahaan asing multinasional terbesar mengendalikan 20 persen asset – asset asing global, lima puluh satu dari seratus kekuatan ekonomi terbesar di dunia kini merupakan perusahaan – perusahaan (dua puluh Sembilan dari seratus tertinggi, jika diukur dalam kerangka nilai-tambah)[2]. General Motor dan Ford, lebih besar daripada GDP seluruh sub-sahara Afrika, Exxon tingkat ekonominya dapat disamakan dengan kemampuan ekonomi Chili dan Pakistan[3].

Dan lucunya lagi, Orang – orang Amerika menghabiskan $8 milyar setahun untuk membiayai kosmetika sementara dunia tidak bisa mendapatkan $9 milyar yang menurut PBB dibutuhkan untuk memberikan kepada manusia kesempatan meminum air bersih dan sanitasi.Di Amerika, selama sepuluh tahun setelah 1988, pemasukan keluarga-keluarga paling miskin meningkat kurang dari 1%, padahal pemasukan itu melompat 15% bagi kelima orang terkaya. Di Kota New York 20%, termiskin memperoleh pendapatan tahunan rata – rata $10.700 sementara 20% terkaya mendapatkan $152.350[4].

Tetapi ada sebuah cerita lain dari sebuah Negara yang cukup kecil dan terisolir. Negara itu dapat terus bertahan diantara persaingan-persaingan ketat yang menyebabkan beberapa negera harus mengorbankan rakyatnya untuk tetap bertahan dalam persaingan itu. Negara ini memiliki system berbeda dari yang lain. Kerajaan Bhutan, tanah mitos dari Thunder Dragon, yang terakhir dari kerajaan Himalaya Merdeka, terletak antara Tibet dan India. Dengan penuh kesadaran mengisolasi diri, ia telah berupaya dalam beberapa abad mengikuti jalannya sendiri, lebih dari 85% penduduknya giat dalam pertanian untuk menyambung hidup, dan transaksi barter merupakan normanya. Masyarakat di Bhutan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan sandang yang layak, dan sama sekali tidak ada gelandangan tuna wisma. “Keberhasilan” di sini diukur atas dasar perkembangan ekologis, etik, dan spritiual; moralitas dan pencerahan diberikan nilai di atas kekayaan bendawi. Nilai – nilai Budha dipegang teguh dan tradisi – tradisi dipelihara; dua ribu biara bergerak aktif, dan Driglam Namsha, kode etik kuno, tetap menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Menurut Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuk, “Gross National Happiness lebih penting daripada Gross National Product.” Sebuah fakta yang mengejutkan dimana saat orang-orang ataupun Negara-negara terus berbondong-bondong untuk memburu materi, rakyat kerajaan Bhutan beranggapan bahwa materi bukan tolak ukur dari kebahagiaan itu sendiri. Untuk apa punya materi yang banyak tetapi tidak membuat hidup kita bahagia.

Kembali ke topic sebelum, kita telah melihat bagaimana fenomena sebuah dunia yang sangat timpang, seperti yang dijelaskan sebelumnya, Fenomena ini dapat dilacak sejak tahun 1979 dan 1980, Margaret Thatcher dan Ronald Reagen antusias mempertahanakan pasar bebas dan secara yakin menentang konsep adanya suatu Negara beraliran intervensi. Menolak Keynesianisme. Mereka menganut pandangan – pandangan para ekonom semacam Milton Friedman dan Friedrich Hayek, keduanya percaya bahwa pasar bebas mampu mengalokasikan barang dan layanan secara lebih efektif ketimbang Negara, dan bahwa upaya – upaya pemerintah memerangi berbagai kegagalan pasar justru lebih banyak menyisakan malapetaka daripada kebaikan. “Peranan Negara adalah menggalakkan kontrak – kontrak untuk memasok uang yang cukup . . . untuk menjamin bahwa kekuatan – kekuatan pasar tidak didistorsi,”[5] dan, pada intinya, untuk menyediakan lingkungan terbaik bagi bisnis untuk berkembang, dengan menyarankan ulang memori – memori dari dictum Presiden Calvin Coolidge, “ Bisnis Amerika adalah Bisnis”.

Pemerintahan Reagen didominasi oleh para ekonom aliran pihak-pemasok, yang mempertahankan potongan pajak guna memberikan insentif yang terbesar terhadap produksi – sementara Thatcher mengadopsi monetarisme, yang menekankan control ketat atas pasokan uang. Pandangan – pandangan keduanya sangat mudah didefinisikan dalam bentuk negative: sebagai sebuah penolakan atas seluruh pilar consensus Keynesian pascaperang. Kanan baru (kelompok yang dianggap sangat pro dengan pengusaha) itu memilih reduksi inflasi dan potongan – potongan belanja public[6] (yang mereka pandang sebagai sebuah penyebab besar dari kelesuan ekonomi saat ini); daripada suatu ekonomi campuran, mereka menginginkan Negara dipotong pada fungsi intinya, dengan banyak fungsinya diswastanisasi atau dikontrakkan kepada pihak lain.

Negara – Negara yang pertama menganut kapitalisme pasar bebas ala Anglo – Amerika adalah Negara – Negara bekas dominion Inggris. Di Australia pada dasawarsa 1980-an mendorong Menteri Keuangan (yang kemudian menjadi Perdana Menteri) Paul Keating, mengingatkan bahwa negeri kangguru itu menghadapi risiko menjadi “republic pisang” jika ia tidak melakukan reformasi. Metode yang ia kembangkan – deregulasi, kejujuran fiscal, dan privatisasi – benar-benar mengingatkan orang akan pendekatan-pendekatan Thacther. Di Kanada, Brian Mulroney meliberalisasi undang – undang yang membatasi invenstasi asing di negeri itu, seraya membuka pasar Kanada bagi perdagangan bebas.

Di Amerika Latin, dictator militer pada 1980-an menunjukkan diri mereka sebagai pengikut setia dari Kanan Baru. Di Chili, Jenderal Pinochet, ketiadaan batasan – batasan demokrasi memperlancar pembebanan berbagai kebijakan ekonomi beraliran moneter yang menyakitkan yang diselenggarakan di bawah panduan sebuah tim dari Universitas Chicago. Awal dasawarsa 1990-an seluruh pemimpin besar Amerika Latin “Presiden Carlos Salinas de Gortari di Meksiko, Presiden Carlos Menem di Argentina, Presiden Fernando Collor de Mello di Brazil (berupaya) menerapkan program – program jangka-panjang liberalisasi ekonomi, seraya menerima adanya kebutuhan akan persaingan pasar bebas dan keterbukaan terhadap perekonomian dunia. Satu-satunya peluang mereka untuk mengamankan pinjaman IMF adalah dengan menerapkan paket – paket reformasi yang berkelindan dengan garis – garis consensus Washington.

Sekitar awal dasawarsa 1990-an kapitalisme neo-liberal laissez-faire gagasan Reagen dan Thatcher tak terbantahkan lagi menjadi ideology dunia yang dominan. Di Amerika Serikat, misalnya, Dewan Kepemimpinan Demokrat – sekelompok pemodern berpengaruh dalam Partai Demokrat – mendorong partainya untuk menghindari posisi kekiri – kirian Michael Dukaki kearah tengah, seraya menemukan kembali dirinya sebagai “Kaum Demokrat Baru.” Berkenaan dengan perhatian pertama dari keadilan social, kaum Demokrat Baru, yang dicontohkan oleh Gubernur Bill Clinton, menekankan bisnis, investasi, daya saing, dan perdagangan bebas dan kredit pajak bersasaran ketimbang kenaikan belanja public.

Tahun 1994 Partai Buruh, yang sedang berusaha memulihkan diri dari kekalahan pemilihan umum empat kali berturut – turut, melakukan sebuah pendobrakan besar atas masa silam, dengan mencampakkan kebijakan – kebijakan tradisionalnya berupa pajak-dan-belanja (yang secara luas dipandang sebagai alasan pokok bagi kekalahannya) dan menganut system ekonomi pasar bebas ala neo-liberal.

Bantuan dana hanya diberikan dengan syarat reformasi pasar menurut selara Amerika, dan tidak banyak diperhatikan kenyataan bahwa negeri – negeri tersebut sama sekali tidak mirip dengan Amerika, dengan kebudayaan yang sangat berbeda, tingkat kemajuan dan lembaga berbeda, dan kebutuhan – kebutuhan yang sangat berbeda[7]. Di Amerika Latin suatu gelombang baru para presiden yang populis telah terpilih – Luis Inacio Lula Da Silva di Brazil, Hugo Chavez di Venezuela, Nestor Kirchner di Argentina, dan Lucio Gutierrez di Ekuador – yang semuanya menjanjikan kepada para konstituennya suatu bentuk kapitalisme yang lebih teratur dan lebih terdistribusi ketimbang apa yang ditawarkan Washington. Pemimpin-pemimpin inilah yang punya gagasan-gagasan untuk membuat sebuah perlawanan terhadap system yang membuat rakyat mereka terus menderita.

Sementara Negara-negara Amerika Latin memilih pemimpin-pemimpin yang kemungkinan membawa perubahan besar justru beberapa Negara lain semakin terpuruk karena pemimpin yang sangat tidak pro terhadap rakyat. Di Chile, uang yang dihasilkannya tidaklah didistribusikan secara merata di kalangan rakyatnya. Hanya kaum minoritas yang menikmati kemajuan pembangunan. China merupakan negeri yang memperoleh manfaat paling besar dari jumlah terbesar FDI selama beberapa tahun terakhir, dan memiliki angka pertumbuhan ekonomi tahun-per-tahun yang mengagumkan selama dua puluh tahun lebih terakhir ini, namun lebih dari seperlima penduduknya hidup dengan biaya di bawah satu dolar perhari. India merupakan cerita sukses software dunia dalam decade itu, namun sekitar setengah penduduknya hidup dengan setara satu dan setengah dolar perhari.

Gap antara kaya dan miskin itu sedang melebar.[8] Di Amerika 97% dari kenaikan pemasukan hanya dinikmati oleh 20% keluarga selama dua puluh tahun terakhir. Sementara si kaya memperoleh lebih banyak – pendapatan rata-rata dari lima orang pria terkaya naik 4% antara tahun 1979 dan 1996 – lima orang terbawah menunjukkan kemerosotan 44% dalam hal pendapatannya. Pertengahan Sembilan puluhan untuk pertama kalinya sejak akhir tujuh puluhan, pemasukan kelas menengah Amerika terus mengalami penurunan akibat gelombang pengerdilan perusahaan – yang menciptakan semacam jurang perbedaan yang semakin menganga antara kelas menengah dan kelas atas.

Hanya 39% penganggur Amerika memiliki akses untuk mendapatkan tunjangan pengangguran saat ini, dibandingkan dengan 70% pada tahu 1986. [9] Tempat orang-orang sebagian besar bergantung pada perusahaan bagi tunjangan kesehatan dan tunjangan pension, konsekuensi-konsekuensinya benar-benar mengerikan. Dua puluh persen orang Amerika yang kini bekerja dengan kontrak temporer atau paruh-waktu tidak menerima tunjangan  sama sekali, atau tunjangan yang berarti. Dan sementara 70% pekerja Amerika memiliki tabungan masa pension, kurang dari 10% dari mereka yang termasuk ke sepuluh terbawah dapat bertumpu pada pesangon pemutusan hubungan kerja apapun yang dananya dikeluarkan oleh perusahaan. Bandingkan hal ini pada paket pesangon penghentian kerja Jack Welch, mantan CEO General Electric, yang, ketika ia berhenti, termasuk pemanfaatan seumur hidup atas sebuah pesawat jet milik perusahaan, sebuah apartemen Central Park dengan harga $80.000 sebulan, keanggotaan pada setumpuk klub di negeri itu, pelayanan maksimal di sejumlah rumahnya, bunga, telepon, computer, furniture, sejumlah limosin, dan tiket istimewa ke Amerika Serikat Terbuka, Wimbeldon, opera, dan setiap pertandingan kandang New York Knicks!.

Mereka yang memiliki pekerjaan terpaksa harus bekerja dalam jumlah jam yang lebih lama dan lebih lama lagi, sehingga Amerika menempati posisi jam kerja terlama (sekitar lima puluh jam perminggu)[10] diantara Negara-negara industry maju.[11]

Inflasi tidak naik pada saat yang bersamaan dengan naiknya angka pengangguran. Sehingga suatu solusi baru dicari – cari karena pemerintah mulai meyakini bahwa “jantung masalahnya terletak bukan pada manajemen yang tidak efisien dari consensus yang sedang berlaku, melainkan consensus itu sendiri.[12]

Kehidupan manusia saat ini cenderung dijual murah demi prospek ke depan guna mendapatkan suatu kehidupan yang secara signifikan lebih baik. Thomas Mayer, ekonom kepala pada kantor bank investasi Goldman Sachs di Frankfurt, telah mengatakan, “Ketika saya melihat-lihat lantai perniagaan, saya tidak melihat perlunya menurunkan upah bagi para peniaga. Itu merupakan masalah sampingan. Akan tetapi yang diperlukan adalah menurunkan upah para petugas kebersihan dan memperluas persebarannya di antara mereka. Jika kita melakukan hal itu, kita mendapatkan lebih banyak lapangan pekerjaan, dan karenanya, angka pertumbuhan lebih besar”[13]

Ada sebuah data bahwa berbagai macam cara digunakan untuk membumikan ideology – ideology pasar bebas ke seluruh dunia. Pada tahun 1947 para petinggi spionase Inggris dan Amerika bekerjasama untuk berbagi informasi keamanan. Mereka bersepakat untuk mengoperasikan sebuah system pemantauan bersama, dengan nama sandi Echelon. Kemudian tiga Negara berbahasa Inggris lainnya, Kanada, Australia dan Selandia Baru, bergabung dengan proyek tersebut, meski Amerika Serikat tetap merupakan partner dominan. Gagasan yang dikemukakan untuk memperbaharui alians yang telah berhasil mengalahkan Nazi Jerman, dalam rangka mengalangi ancaman baru, yakni Rusia Sovyet.

Di America, satuan-satuan Sigint (signals intelligence) militer dibangun di Sugar Grove di Virginia Barat. Di Inggris sebuah stasiun pendengar di Menwith Hill, di Yorkshire di utara Inggris, yang jauh dari London, menjadi situs internasional paling penting bagi kelompok tersebut, dan pada khususnya bagi National Security Agency (NSA) milik Amerika, sang pemain utama dalam Echelon. Echelon memainkan suatu peran, pada tahun 1989 Tembok Berlin rubuh. Sekitar 1991 seluruh blok Sovyet telah ambruk, dan ancaman komunis itu telah lenyap sama sekali. Februari 2000, Echelon tidak lagi dimanfaatkan untuk pengintaian politik dan militer atas para dictator yang mengancam kebebasan dunia. Ia digunakan untuk memonitor berbagai aktivitas bisnis komersial sehari-hari milik sejumlah sekutu terdekat Amerika dan Inggris. Echelon pun dilaporkan dapat menyadap setiap kata dalam komunikasi telepon, faxsimile, dan e-mail yang dipancarkan oleh satelit manapun di dunia ini. Bukti ini menegaskan bahwa Echelon digunakan untuk memata-matai individu dan menyampaikan berbagai rahasia komersil kepada para pelaku bisnis Amerika.

Informasi yang mencengkan ini terbongkar pada Februari 2000, ketika dokumen-dokuem Departemen Pertahanan Amerika yang baru saja dideklasifikasi diedarkan dalam Internet dan untuk pertamakalinya diberikan informasi resmi bahwa operasi penyadapan elektronik global memang benar-benar ada. (Keberadaa Echelon pertama kali diungkap pada tahun1996 oleh seorang agen pembelot di Selandia Baru, tetapi sebelumnya tidak didukung bukti). Fenomena yang mendukung informasi inipun telah terlihat dengan jelas seperti di Asia, Amerika Serikat memanfaatkan informasi yang dihimpun dari pangkalan-pangkalannya di Australia untuk memenangi separuh saham dari sebuah kontrak perdagangan Indonesia yang besar bagi AT&T yang menurut penggalan komunikasi yang disadap awalnya ditujukan kepada NRC Jepang. Hal inipun ditanggapi oleh Pemerintah Portugis – yang pada saat itu sedang menjadi presiden keliling Uni Eropa – mengajukan untuk mendirikan sebuah secretariat Eropa untuk memonitor kegiatan-kegiatan Echelon.

Selain menggunakan Echelon untuk mengambil keuntungan besar disebuah Negara, Amerikapun menggunakan cara-cara licik untuk menghancurkan sebuah Negara yang punya pemerintahan yang sangat kuat menentang Amerika. Sebagai contoh di Iran pada tahun 1953 CIA menyokong kejatuhan pemerintahan rakyat Perdana Menteri Mohammed Mossaddeq, yang menuntut bahwa perusahaan minyak Anglo-Iran (Pendahulu BP) membagi lebih banyak keuntungannya dengan Iran. Ketika peraturan Shah Muhammed Reza Pahlevi diberlakukan  kembali, sang penguasa yang kembali itu melakukan negosiasi ulang kesepakatan-kesepakatan minyak negerinya sehingga untuk pertama kalinya perusahaan-perusahaan minyak Amerika bisa beroperasi di sana, dengan mengambil 40% saha pada konsorsium internasional perusahaan minyak swasta yang sekarang memiliki dan mengoperasikan asset-aset minyak Iran.[14]

Pada tahun 1954 Amerika Serikat membantu menggulingkan pemerintah terpilih Guatemala, Presiden Jacobo Arbenz, setelah ia mengambil-alih 80% perkebunan Tiquisate dan Bananera, kemudian United Fruit Company milik Amerika, bekas lembaga hokum milik menteri luar negeri, John Foster Dulles, mewakili United Fruit dan kepala CIA, Allen Dulles, merupakan anggota badan komisaris perusahaan tersebut.[15] Arbenz pun digantikan oleh seorang dictator militer dukungan-CIA pada tahun 1954. “Empat puluh tahun kemudian militer mencatat rekor hak asasi manusia terburuk di Hemisphere Barat”. [16]

WTO memerintah demi menyenangkan kepentingan-kepentingan perusahaan melawan kehendak pemerintah yang terpilih secara demokratis. Tidak memberikan laporan pertanggung jawaban kepada siapapun, ia telah membatasi pilihan kita atas apa yang dapat kita maka, mengabaikan undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah kita yang terpilih secara demokratis, memulai atau mendukung perang perdagangan, dan membuat kesehatan kita penuh resiko.

Keberpihakan WTOpun semakin terlihat dengan jelas ketika kelompok pencinta lingkungan dan kelompok-kelompok public lainnya tidak diizinkan untuk mengamati pembahasan-pembahasan yang dilakukan WTO, bahkan ketika tidak melibatkan rahasia-rahasia komersial besar.

Di seattle, pada tahun 1999 negara-negara Afrika merasa geram dengan keputusan Amerika Serikat untuk tidak menggunakan penerjemah dan mikropon dalam pertemuan internal mereka yang sudah dijadwalkan. Hal ini mengindikasikan pertemuan WTO yang sangat tidak adil. Helmet Maucher, presiden Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce, ICC) – sebuah oragnisasi yang terdiri dari 7.000 perusahaan-anggota dan mewakili perusahan-perusahaan transnasional terbesar dunia, termasuk General Motors, Novartis, Bayer, dan Nestle – mendorong organisasinya untuk dianugrahi status formal dalam tubuh WTO, terlepas dari kenyataan bahwa pada saat ini hanyalah Negara-bangsa yang menjadi anggota WTO.

Ada sebuah fenomena tentang perjuangan seorang aktivis yang berusaha melawan kekuatan korporasi yang didukung oleh pemerintah. Orang ini bernama Doris Haddock (Granny D) yang merayakan ulang tahun ke 90 pada tahun 24 januari 2000 di Cumberland, Maryland. Ia terkenal karena berangkat dari Pasadena, California, pada tanggal 1 Januari 1999, dan berjalan menempuh jarak 3.200 mil menuju Washington untuk memprotes korupsi yang terus tumbuh dalam system politik Amerika dengan sumbangan – sumbangan sangat besar yang diberikan kepada mesin partai oleh sejumlah perusahaan dan serikat. Satu dari sekian target utama Granny D adalah apa yang disebut uang lunak – sumbangan-sumbangan yang asalnya berarti cadangan untuk biaya incidental – yang telah menjadi sebuah factor besar dalam pemilihan umum di Amerika. Perjalanan Granny D pada mulanya dimaksudkan untuk mendukung senator Partai Liberal daerah pemilihan Wisconsin, Russ Feingold, yang di antara isi rancangan programnya, yang disusun bersama dengan tokoh popular Partai Republik, John McCain, mengecam system uang lunak sebagai “sogokan yang dilegalkan”. Pada 20 Maret 2002, Rancangan Undang-undang Pendanaan Kampanye racikan McCain-Feingold dan Shays-Meehan mendapat persetujuan Senat dan Presiden Bush terpaksa harus menandatanganinya sebagai undang-undang.

Data lain bahwa ada fenomena dimana perusahaan – perusahaan yang memonopoli barang dipasaran terus di lawan. Pada musim gugur tahun 1999, tokoh yang dijadwalkan muncul, di sudut hijau, adalah Lord Melchett, petani organic dan mantan menteri dari Partai Buruh; dan yang menjadi lawannya adalah Robert Shapiro, kepala dan CEO Monsanto, produser benih GM terdepan di dunia. Lord Melchett, direktur eksekutif Greenpeace.

Setelah sebuah tahun yang gegap-gempita dengan protes, kampanye, dan pergolakan konsumen, Shapiro menghadapi kenyataan bahwa Eropa, dan khususnya Inggris, menolak bioteknologi Monsanto. Isu GM bergeser dari lembaran-lembaran surat ke halaman-halaman depan media massa, dan dengan cepat mendominasi bulletin berita dan kepala berita media massa di Inggris. Protes – protes terhadap kampanye yang tidak matang itu ditahan oleh Otoritas Standar Periklanan, yang mengkritik perusahaan itu sebagai menyesatkan public dan menyajikan opini sebagai fakta.

Dalam sebuah era apatisme dan keengganan berpolitik, konsumerisme mulai menggantikan kewargaan sebagai sebuah alat yang bisa digunakan oleh rakyat biasa untuk memperoleh identitas dan pengakuan dalam arena public.

Kerusuhan, instabilitas, dan kemiskinan tidaklah kondusif untuk melakukan bisnis jangka panjang yang efektif di manapun di dunia ini. Jaime Augusto Zobel de Ayala II, presiden Perusahaan Ayala, salah satu konglomerat terbesar Filipina, mengatakan dalam sebuah pidato di hadapan orang-orang bisnis Asia pada tahun 1995: “kita semua membayar ongkos untuk kemiskinan, pengangguran, dan kebutahurufan. Jika sebuah angka persentase masyarakat masuk pada kelas yang tak beruntung, para investor akan merasakan kesulitan untuk mendapatkan pekerja yang terampil dan gigih; pabrik – pabrik akan memiliki suatu pasar terbatas bagi produk-produknya; kriminalitas akan membuat lari ketakutan investasi asing, dan migrant internal ke kawasan – kawasan terbatas yang disitu tersedia setumpuk peluang akan mempertegang pelayanan dasar dan mengarah pada masalah – masalah perkotaan. Di bawah kondisi – kondisi seperti ini, tidak ada negeri yang dapat bergerak maju secara ekonomi dan menopang pembangunan… Oleh karena itu akan memiliki manfaat bisnis bagi perusahaan jika ia melengkapi upaya-upaya pemerintah dalam memberikan sumbangsih pada pembangunan social.

Rite Aid, waralaba toko obat Amerika, telah memiliki komitmen untuk menempatkan 580 dari 4000 toko miliknya di seantero Amerika pada kawasan-kawasan pusat kota yang sangat membutuhkan revitalisasi, dengan mengontrak para pengembang setempat, mempekerjakan karyawan-karyawan setempat, dan menciptkan efek riak positif dalam ekonomi setempat. Namun demikian tidak ada alasan untuk membatangkan ia melakukan hal ini semata-mata karena alasan-alasan belas kasihan; ia juga memetik manfaat bisnis yang bagus.

Pertanyaan yang muncul sekarang, Apakah ideal bahwa perusahaan – perusahaan, bukannya pemerintah, memainkan peranan tersebut ? Tidak, tentu saja tidak. Perusahaan – perusahaan, dan pihak – pihak manajemennya, tidaklah dipilih melalui proses pemilihan. Fungsi – fungsi tadi bersifat asing bagi kesibukan pokok mereka – para manajer perusahaan multinasional yang beroperasi di dunia ketiga sering disibukkan oleh berbagai persoalan social yang mereka hadapi, dan dapat dimaklumi mereka merasa sulit mengetahui sasaran mana yang harus didahulukan. Mereka tidak mempunyai keahlian dalam mendistribusikan bantuan, dan terbatas pengalaman dalam memainkan fungsi – fungsi Negara, meski mereka sering bekerjasama erat dengan kalangan LSM dan organisasi – organisasi akar rumput, dan menyewa orang – orang berpengetahuan. Sumbangan – sumbangan mereka dapat saja dihambur – hamburkan atau diselewengkan melalui korupsi. IBM menyediakan sejumlah computer bagi sekolah – sekolah di Afrika Selatan, namun sekolah – sekolah tersebut sangat rentan terhadap pencurian. Disekolah – sekolah computer hanya bermanfaat jika mereka dibarengi oleh guru – guru yang layak, yang tentu saja tidak disediakan oleh IBM. Maka dampak sumbangan itu menjadi minimal, sejumlah besar murid tidak menjadi melek computer, dan uang yang dikeluarkan untuk kesejahteraan menjadi, sebagaimana juga sering menjadi kasus dalam ruang public, benar – benar mudah.

Seiring dan ketika perusahaan bergerak pindah, begitu juga obligasi – obligasi mereka akan berpindah ke komunitas – komunitas setempat. Terdapat bahaya nyata bahwa kehadiran mereka, pengambilalihan mereka atas peranan – peranan pemerintah tradisional tersebut, akan menciptakan semacam penghambat bagi pemerintah untuk mengembangkan sendiri lembaga – lembaga yang sepatutnya ; dan bahwa jika dan ketika mereka menarik diri, tidak aka nada sama sekali pihak yang bisa menggantikan mereka, dan tidak ada jalan lain untuk ditempuh.

Perusahaan mungkin saja mampu memainkan peranan tertentu dalam mengentas kemiskinan dan menangi konflik dan ketimpangan, namun investasi social dan keadilan social tidak akan pernah menjadi kegiatan inti mereka. Sumbangsih mereka kepada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan akan selalu berada di pinggiran, dan kontribusi mereka terhadap kemakmuran tidak akan pernah komprehensif. Wolfensohn, kepala World Bank, kini mengakui bahwa “globalisasi tidak bekerja pada tingkat masyarakat”[17] dan adalah jelas bahwa harta kekayaan tidak diturunkan ke rakyat bawah sebagaimana telah diprediksi.

Deficit demokrasi dengan cepat menjadi suatu jurang demokrasi, dan protes muncul sebagai satu – satunya jalan bagi suara – suara lain untuk didengar.

Berbagai kelompok penekan yang memainkan sebuah peranan besar dalam masyarakat sipil telah mengambil selimut kemenangan rakyat, namun mereka tidak memiliki mandate demokrasi apapun, seringkali memiliki focus yang sempit dalam berbagai prioritas anggotanya, atau kepemimpinan mereka, dan mungkin bekerja untuk menerapkan nilai – nilai mereka dengan tidak menghargai nilai – nilai orang lain. Mereka berkonsentrasi pada isu – isu tunggal, mereka boleh jadi tidak merasa perlu untuk merepotkan dirinya sendiri memikirkan masalah – masalah orang lain, sebagaimana mungkin terjadi dalam sebuah system demokrasi murni.

Sebelum tahun 1900, adalah jarang terjadi rakyat berpaling dari partai – partai politiknya dan menemukan cara – cara selain memberikan suara dalam pemilihan untuk mempengaruhi pemerintah. Bermula pada awal abad ke-20, struktur lama partisipasi politik ini memberikan jalan bagi pola – pola baru. Kehadiran pemilih pada bilik – bilik suara merosot, perobekan kertas suara meningkatan, dan relative sedikit pemilih yang dapat dihitung untuk mendukung kandidat – kandidat partai regular dari tahun ke tahun. Pada periode yang sama, banyak sekali kelompok kepentingan yang berhasil merintis berbagai cara baru mempengaruhi pemerintah dan agen – agennya.[18]

Agenda baru agar setiap orang dapat memiliki akses terhadap keadilan dimanapun mereka berada. Pertama, pada tingkat nasional, agenda baru ini memerlukan suatu pencabutan hak memilih dari perusahaan. Pendanaan perusahaan terhadap partai – partai politik dan kampanye – kampanye pemilihan merupakan sebuah penghinaan bagi prinsip – prinsip demokrasi, dan terus memastikan bahwa politik tetap diartikan secara keliru hanya untuk kepentingan sedikit orang – ekslusif alih-alih inklusif. Jika kepercayaan hendak dipulihkan, para politisi akan harus membuktikan diri kepada para pemilih bahwa mereka bekerja untuk kebaikan public, dan bukan demi kebaikan pribadi. Kedua, kepercayaan yang teguh terhadap ekonomi trickle-down,  membenarkan segala sesuatu dari kemakmuran perusahaan hingga potongan – potongan pajak bagi kalangan hartawan, harus untuk terakhir kalinya diistirahatkan. Ketimpangan yang terus tumbuh dan kecenderungan – kecenderungan perusahaan untuk menangkap penghasilan dari subsidi atau potongan pajak bagi mereka sendiri dengan tanpa memperhatikan komunitas setempat memberikan bantahan yang menyolok atas teori trickle-down. Pada dataran praktis, penolakan atas aksioma ini akan mengakibatkan bukan saja pengikisan atas kebijakan kemakmuran perusahaan melainkan juga suatu telaah ulang atas kebijakan – kebijakan perpajakan redistributive dan pengeluaran public. Ketiga, kekuasaan perusahaan pada tingkat nasional harus dihambat.

Mendesak bahwa kita memastikan bahwa para pelestari berbagai ketidakadilan perusahaan harus diperiksa, di manapun mereka berada, dan bahwa korban – korban mereke harus dibantu siapapun mereka. Dalam jangka panjang hal ini merupakan masalah penguatan regulasi nasional dan internasional atas berbagai perusahaan dan mengefektifkan penggalannya. Dalam jangka pendek terdapat dua inisiatif yang jelas yang dapat diambil.

Pertama, pemerintahan Negara – Negara utara harus memiliki komitmen terhadap reformasi badan legislative yang akan memastikan bahwa tabir perusahaan dapat ditembus dan perusahaan – perusahaan induk dapat dimintai tanggungjawabnya atas berbagai tindakan bawahannya di negeri manapun mereka beroperasi. Kedua, para pekerja dan komunitas di mana saja harus diberikan akses terhadap lembaga bantuan hokum global.

penjajahan-kapitalisme


[2] Anderson dan Cavanagh, “Top 200: The Rise of Global Corporate Power.” Institute for Policy Studies (Washington, D.C. 1999). Hal ini dihitung dengan membandingkan GDP terhadap penjualan perusahaan. Bahkan jika GDP dibandingkan dengan nilai tambah, keraksasaan perusahaan tetap mencengangkan. Misalnya General Motors, dengan menggunakan ukuran nilai-tambah, ternyata muncul sebagai ekonomi terbesar ke lima puluh lima di dunia ! (UNCTAD 2002)

[3] Dihimpun dari data negeri dan perusahaan dalam daftar yang dibuat oleh The Economist dan Fortune 500, tahun 2000

[4] Pulling Apart : A State-by-State Analysis of Income Trends, Center on Budget and Policy Priorities and the Economic Policy Institute (2000)

[5] David Marquand, “Moralist and Hedonist,” dalam Marquand dan Seldon, The Ideas that Shaped Post-War Britain, hlm 14 – 15.

[6] “The Thatcher Record,” The Economist, 24 November 1990; Laporan Ekonomi Sang Presiden, Januari 1993, Tabel 13-59, hlm. 462; “The Trouble with Theories: Assessing Reaganomics,” The Economist, 21 Januari 1989.

[7] John Gray, False Dawn : The Delusions of Global Capitalism.

[8] Lihat Giovanni Andrea Cornia, “Inequality and Poverty Trends in the Era of Liberalization and Globalization” (Publikasi Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1999)

[9] Business Week, 19 November 2001, hlm. 10.

[10] OECD Employment Outlook, Juli 1999.

[11] Data International Labor Organization

[12] (Nigel Lawson, “The Frontiers of Privatisation,” pidato dihadapan konferensi mengenai privatisasi di Institut Adam Smith (1988), dikutip dalam Peter Riddell, The Thatcher Era and Its Legacy (Oxford : Blackwell, 1991), hlm. 6

[13] Dikutip dalam Greider, One World Ready or Not.

[14] W. LaFeber, “The Tensin Between Democracy and Capitalism During the American Century,” Diplomatic History, vol. 23, no.2 (Malden, MA: American Historical Association, 1999)

[15] Ibid.

[16] T. E. Vadney, The World Since 1945 (New York : Viking Penguin, 1992)

[17] W. Hutton dan A. Giddens, ed., On the Edge : Living with Global Capitalism (London, 2000)

[18] Richard L. McCormick, The Party Period and Public Policy, hlm. 274